KRISIS

Kelihatannya saya agak setuju dengan pernyataan Dr. Komarudin Hidayat yang disampaikan sekitar lima tahun yang lalu itu, bahwa umat Islam kini telah terpenjara dengan warisan intelektual yang begitu kaya. 

Kalau kita amati, apa yang diucapkan beliau itu benar. Jadi sekarang kita itu sedang bingung, “kita sedang hidup di zaman apa? “ Karena saking kayanya warisan ilmu “masa lalu”, akhirnya yang dibaca dan diterima ya warisan tersebut, bahkan dianggap “hanya itu” yang benar.  Gak mau membaca isu-isu kekinian, wacana-wacana baru mengenai studi Islam baik dari “dalam” ataupun “luar”, bukan berarti karena ketiadaan akses maupun keterbatasan fasilitas, memang ada unsur kesengajaan untuk membatasi diri dari apapun yang dianggapnya “tidak”, atau “bukan”. Jadi yang kita jadikan objek kajian ya rumusan-rumusan masa lalu itu, meskipun terkadang rumusan-rumusan tersebut terikat pada  persoalan-perosoalan yang ada di masanya (artinya gak relevan lagi). 

Merujuk kepada warisan pemikiran terdahulu itu gak sepenuhnya salah. Bahkan dalam bidang tertentu memang diperlukan—seperti fikih misalnya. Tapi bukan itu yang saya maksud. Itu terlalu sempit. Melainkan karakter keberagamaan, atau cara pandang para pengkaji Islam pada umumnya. Warisan pemikiran Islam itu tak ubahnya seperti sebuah sejarah, ia perlu dipelajari, untuk sebatas pedoman, bukan untuk diulang atau diadakan (menjadi ada) lagi pada masa kini. 

Di luar sana, orang-orang sedang bersaing menemukan hal-hal baru, dan terus merayakan capaian serta kehidupan yang baru. Mulai dari sains, teknologi, kesusastraan, metode dan ilmu-ilmu yang baru. Setidaknya itu yang bisa kita rasakan keberadannya bersama. Dan kalau boleh jujur, dimanakah peran kita sebagai umat Islam disana? Atau barangkali kita kadung pasrah menerima takdir sebagai objek kreasi mereka: cukup sebagai penikmat, pembeli, dan penonton saja. 

Walah dalah, sudah tahu kayak gitu, lha kok akhir-akhir ini ada berita kalau MUI Jatim memberi imbauan agar tidak mengucapkan salam kepada umat agama lain. Imbauan tersebut dutujukan kepada umat Islam pada umumya, dan terkhusus kepada para pejabat. Lalu mencatut nama kitab yang ditulis oleh Imam Nawawi sebagai rujukannya. 

Saya gak habis pikir, ini wacana macam apa. Kok bisa-bisanya ngelakuin hal demikian. Itu kan masalah ikhtilaf, masih ada pro-kontra disana, apalagi konteksnya sudah berbeda dulu sama sekarang. 

Kalau lembaga sebesar MUI saja masih terkungkung dengan hal-hal seperti itu, lalu bagaimana umat bisa berpikir luas dan maju. Atau ini cukup sebagai pertanda, bahwa saat ini kita memang sedang mengalami krisis: krisis nalar, krisis wacana, atau juga krisis spirit-intelektualitas! 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?