Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Apakah Agama itu Sederhana?

Kita tahu, ketika melihat sejarah, yang bercerita tentang pertumpahan darah, tak jarang agama dilibatkan dan dibawa-bawa. Dalam Film Viking misalnya, di sana kita melihat beberapa pertempuran yang seolah sama-sama mewakili agama, satu pihak "atas nama Odin", dan pihak lawan mengatakan "atas nama (tuhan) kristen". Padahal ada yang musti kita curigai, agama tak sepenuhnya menjadi motif tunggal dalam kejadian sejarah tersebut, unsur kepentingan dan kekuasann justru memiliki porsi yang lebih dominan. Begitu juga peristiwa teror yang terjadi--setidakny dalam dua dasawarsa terakhir-- akhir-akhir ini, juga kekerasan identitas yang sering menyatut label "Islam", padahal kita tahu Islam (sebagai ajaran) sendiri sejak kapan arif dengan kekerasan dan kemungkaran semacam itu? Barangkali demikian cara sejarah memberi kesimpulan: antara " agama" dan "yang beragama" musti diberi jarak-- dua hal yang kadang menyatu, tapi seringkali ia tak menyatu,

OASIS

Sekitar jam sepuluh malam saya terbangun dari tidur. Saya langsung menuju kamar mandi untuk cuci muka. Lalu saya nyalakan kompor buat masak air. Beberapa menit kemudian teh panas sudah mengepul. Saya nyalakan lampu kamar, akhirnya ritual ngeteh (bahasa mesirnya "ngeshay" pun dimulai, tak lupa dibersamai Ibnu Arobi dengan "fushus al hikam" nya. Menit demi menit berjalan cukup hikmat. Sekitar sejaman berlalu, saya merasa kayak ada yang kurang. " oh, ya, syisa! " Setelah melewati "birokrasi" yang agak lumayan, karena harus beli arang yang sudah habis, dan untuk mendapatkannya saya harus turun-naik tangga dari lantai enam. Akhirnya semua sudah "ready", alias " nyepak". Lampu rumah saya matikan semua, dan cuman lampu teras saja yang saya nyalakan. Gitu pun agak redup. Oke, di situlah tempat saya melanjutkan ritual ngeshay dan nyisah. Sambil ngebul dan nyeruput teh, saya menikmati suasana malam dan pemandangan kota kairo yang khas

Pesan Kritis Dari Imam Syafii Kepada Pencari Ilmu

Pesan Kritis Kepada Pencari Ilmu Dari Imam Syafii Tidak ada rasa puas dan kenyang bagi seorang pecinta ilmu pengetahuan. Hari-harinya selalu dipenuhi dahaga untuk terus mencari, belajar, dan membaca.  Tapi perihal mencari pengetahuan bukan urusan sederhana. Begini misalnya: orang mencintai ilmu itu sudah benar, tapi tentang bagaimana seseorang mencari ilmu itu soal lain, artinya mengenai cara mendapatkan ilmu itu sendiri tidak semuanya benar.  Maka dari sinilah muncul statemen: " belajarlah pada guru yang tepat! ",  " ilmu harus ada sanadnya".   Dan dari latar belakang semacam ini muncullah teks seperti " ta'lim muta'allim", sebuah karya masterpiece Syekh Az Zarnuji. Di dunia pesantren teks ini merupakan kitab wajib, semacam pedoman mencari ilmu bagi santri.  Dan saya bersyukur sudah berkesempatan ngaji ke Mbah Yai Anwar Mansur hafdzohulloh ketika di Lirboyo dulu.  Hal tersebut sama halnya dengan soal beragama. Orang mencintai agamanya itu benar, t

Pertemuanku Dengan Fushus al Hikam

Pertemuanku Dengan Fushus al Hikam Dua hari ini saya merasa ada yang kurang dalam hidup saya.  Saya tidak berjumpa lagi dengan "fushus al hikam"  Muhyiddin Ibnu Arobi.  Saya tidak memiliki bukunya, dan buku sebelumnya yang saya pinjam dari teman saya harus saya kembalikan karena bagaimanapun saya menggemari membacanya, saya sadar itu bukan buku saya.  Meskipun buku pinjaman, saya tetap bersyukur karena sudah membacanya sampai khatam. Dan sebenarnya niat hati ingin mengulangi terus seperti "wiridan", yakni dengan satu hari satu fasal seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya.  Sebenarnya saya sudah mendengar nama Ibnu Arobi sejak di pesatren dulu, atau malahan ketika di rumah, berarti saat itu saya masih belum berangkat ke pesantren. Tepatnya dari menguping tanpa sengaja dari percakapan orang tua saya dengan beberapa kerabatnya. Mengenai bagaimana jelasnya,  dan persisnya isi pembicaraan tersevut saya agak lupa, terdengar sedikit agak remang-remang. Tapi bukan teks  f

Belajar dari Butet Kertaradjasa

Saya sangat bersyukur karena Indonesia memiliki konten youtube yang menurut saya sangat berkualitas, yaitu humor sufi. Mulai dari hostnya yang diperankan oleh Gus Candra, seorang budayawan, agamawan, sekaligus penulis yang sangat bertenaga, selanjutnya co-host yang diisi oleh pakde Prie GS, budayawan dan penulis juga yang menurut saya pikiran-pikiran beliau sangat menyegarkan, solutif, dan sangat membangun.  Saya tidak pernah bosan mengikuti setiap episode yang dihadirkan oleh beliau-beliau itu. Di tambah nara sumber yang keren-keren selalu memberi khazanah kearifan sesuai pakemnya masing-masing.  Pada episode terbaru yang menjadi tamu undangan adalah seorang aktor terkenal sekaligus jurnalis senior bernama Butet Kertaradjasa. Dari beliau saya mencatat banyak hal berkaitan kesenian, keaktoran, dampak-dampak positif dari pekerjaan yang dilakukan dengan senang hati dan tanpa pamrih, proses seorang jurnalis, dan lain-lain.  Tapi ada satu hal yang paling menarik perhatian saya. Yaitu perny

Bom dan Jalan Pintas

Entah apa yang dipikirkan pemuda itu. Ia memilih meledakkan dirinya sendiri. Enam polisi luka ringan, dan si pelaku kurang tampak jelas: terlihat ia hanya tergeletak di tanah, tubuhnya hancur, seperti habis dicabik-cabik binatang buas.  Dalam gambar, pemuda itu tampak diam dan demikian pasrah. Tapi di twitter, netizen tak mau ketinggalan. Belum diketahui secara pasti apa motifnya, orang-orang sudah paham dan langsung ingin menghukumi: itu pasti radikal, terorisme!  Menariknya, bukannya mereka ketakutan (setidaknya itu yang tergambar di sosmed), resah, atau merasa kena teror, netizen malah terlihat sinis: bahwa "sekarang pelaku sudah di surga", "ngentot di surga", dll. Barangkali bagi mereka, sinisme semacam itu adalah sikap yang tepat untuk seorang teroris.  Terlepas dari itu semua, bagaimanapun kita musti mengambil pelajaran. Bahwa radikalisme adalah tindakan yang keluar dari batas kemanusian. Ia lahir dari keberpihakan atas "ego" yang berlebihan: bahwa &

Riyadloh

"Orang yang mempunyai ilmu dengan diriyadlohi dan tidak diriyadlohi itu hasilnya beda. Riyadloh yang paling utama adalah istiqomah." Dawuh Mbah Yai Mahrus Ali. Makanya dulu pas mondok di kediri, saya melihat para santri-santri senior banyak yang riadloh. Seperti puasa "nahun", puasa "ndalalil", dan ada juga yang puasa "ngerowot" dan model-model tirakat yang lain. Satu lagi yang masih dipertahankan dalam tradisi santri yaitu tradisi tidak pulang. Seingat saya, dulu ketika ada santri yang datang, untuk tahap awal mereka gak boleh pulang sampai minimal tiga tahun dulu. Di antara yang menekankan itu adalah Si Mbah Kyai Ahmad Mahin Toha (setahu saya seperti itu karena saya dulu nyantrinya di pondok Darussallam). Jadi santri boleh pulang minimal pas tamat ibtida'. Ada juga cerita, saat itu santri yang nahun sampai khatam amriti (berarti tiga tahun tidak pulang), pas ijazahan sama Mbah Yai Idris Marzuqi allohu yarham ditantang, " sinten sing pu

Sejarah: Capaian ataukah Beban?

Mungkinkah yang dicapai guru-guru kita, orang tua, atau para leluhur kita akan begitu saja terwariskan kepada kita. Dengan proses "hulul", manunggal atau melalui proses peleburan misalnya. Secara kategori hukum aqli, itu mungkin. Tapi secara ontologis, tidak. Karena itu semua 'arodl', dan 'arodl la yabqho zamanain'.  Menurut Al Baqillani, definisi 'arodl adalah "ma la yasihuu  baqouhu". Yakni sesuatu yang tak bakal/boleh langgeng. Oleh karena itu, dalam Al Quran dunia digabungkan dengan kata 'arodl, karena keberadaannya yang sementara.  تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّÙ†ْÙŠَا ÙˆَاللَّÙ‡ُ ÙŠُرِيدُ الْآخِرَØ©َ ۗ [Al Anfal:67]  Selanjutnya, Al Baqilani menjelaskan setiap warna, aroma, karangan, hidup, mati, pengetahuan, kebodohan, kekuatan, kelemahan dll itu semua termasuk bagian dari 'arodl. Paham seperti ini tak lagi murni teologis.Tapi bisa ditarik juga ke ranah sosio-historis. Semisal, pernyataan "bangsa kita adalah bangsa yang unggul karena dulu

Delusi

Menurut info yang saya dapat dari warga twitter, lokasi kejadian poto-poto ini adalah di Jogja. Entah di daerah mana, tepatnya saya kurang tahu. Tapi bukan itu yang terpenting. Menurut saya yang paling urgen untuk dicatat dan dimengerti adalah mengapa peristiwa semacam itu bisa terjadi. Ada beberapa poin yang bisa dicatat di sini:  - Ada sekelompok orang yang mengatasnamakan diri mereka sebagai "umat Islam", dan merasa "ditindas" dan dirugikan. Setelah itu, apa tuntutan mereka? Hendaknya khilafah ditegakkan!  - Mereka menuntut agar dikembalikannya kemulian Islam. Caranya bagaimana? Dengan menempuh jalan persatuan umat sedunia. - Ketidaknyamanan mereka dengan Nasionalisme. Paham itu bagi mereka tak lebih dari sekedar pemecah belah umat. Sebab nasionalismelah persatuan tidak bisa terwujudkan, maka tidak ada jalan lain selain melawan paham tersebut.  Kalau boleh saya sederhanakan, terdapat sebuah postulat mendasar yang menjadi pijakan utama, dan di situlah letak kesala

Arus Kata

Kata itu mungkin terbaring menemani malam yang karib terasing Kini ia semakin cemas terpinggirkan di seberang jalan sempit ketakberdayaan yang tuntas Apa yang seketika terlintas Saat melihat gelandangan berbaris Di kota penuh buku dan ilmu-ilmu ketaksanggupan tanpa ragu: itulah kehidupan itulah keterasingan. Haruskah kita salalu sembunyi di balik, "bukan aku" "bukun urusanku". Masih pantaskah ini disebut kata-kata,  apalagi kalimat,  apalagi suara dan nada masih akukah aku masih layakkah semua ini!   Apa yang masih mungkin dikerjakan oleh seorang pemuda yang ternyata lupa mengapa, dari mana dan kemana hendak pergi bias-bias itu Kita adalah bias pun bahasa dan kuasa Saat ada sorak-sorak dalam pesta mungkin itu air mata sedang mancari gelas untuk sekedar tumpah kesedihan yang merindukan pulang, dari hilang;  kembali, ke yang suci.

Curhat Kepada Ustadz

Si ustadz yang histeris tolong tuan belajar menulis puisi, secangkir kopi dan gincu yang agak humoris Kami ini  tak bermaksud lari karena kami tahu tuan tidak buas Hanya saja nyali kami  tak cukup luas tuk menyimak mulut tuan yang lepas Kami sekedar umat kecil wajar kalau takut  dan belum kuat sama ustadz yang besar Layali, 2.3.2020

ARUS WAKTU

Siapakah dari kita yang benar-benar diam?  Permusuhan  Persekongkokolan Pengakuan Mudah sekali pergi kesana kemari Seperti oksigen yang kita  Hirup setiap hari Dan sejarah adalah teks terampuh Yang bersiap mengantarkanmu Pada perebutan kebenaran: ( kadang membelenggu) Setiap kata Setiap waktu Setiap kita Hidup ini misterius Kadang hening seketika menggelegar Menjadi petir Atau serigala yang telah lama bersemayam Dalam senyap dalam sadar itu Terbangun kapan dan seenaknya saja Sebab itu Mari berlatih bersuara Sejelasjelasnya Senyaringnyaringnya Dan sebirubirunya!  17.2.2020

Cinta Yang Tak Cukup

Mumpung masih sekolah Bacalah buku-buku filsafat, sains, sastra, agama dll!  Itu kata sebagian orang cari ilmu itu mumpung karena setelah lulus ilmu tak semestinya diurus lebih baik baca buku bisnis ya, begitu jalan ceritanya ada ilmu, tapi tak ada hidup ada hidup, tapi apa ilmu perlu seperti tanyaku pada seorang wanita: "bagaimana kalau cukup dengan cinta? " tapi katanya tidak, "musti ada harta!" Kau tahu ternyata drama kehidupan  berawal dari hal dangkal sesepele dan sesembrono itu!  bayangkan saja makna-makna luhur yang kukejar puluhan tahun merantau  Menyusuri sunyi Melalui hutan kesendirian Berteduh di bawah pohon kebijaksanaan Sekuat tenaga memangku ketakberdayaan mau disapu oleh angin cemas semacam itu?  Tapi ada saja yang terhempas Atau jangan-jangan kini takhayul itu  Bukan angin lagi, tapi badai halilintar Sulit memang  Realitanya sekolah sudah menjadi pabrik-pabrik Saat terlihat tak menguntungkan Orang-orang mending memilih keluar sekolah saja Pindah jual

..

Barangkali tanpa cinta sejak dulu dunia bisu tapi langit masih saja enggan tuk berhenti merayu bumi:                         kisah-kisah bestari                        belum usai. Dan akhirnya hingga kini  para pecinta masih setia  merajut benang-benang  waktu: meleleh di atas bara cinta menari bersama pena dan tinta menyapu semua nestapa mengalir ke samudera rasa. 2020

Barangkali Seperti Itulah Kemewahan Satu-satunya Rakyat Jelata

kopi, dan kata-kata.

...

Apa yang terjadi jika angin tak lagi datang menyambut  musim, menghibur para nelayan  yang pulang dengan cemas dan takut walau tak begitu persis dimana angin itu berhembus tapi kita benar-benar tahu kepada siapa ia menuju begitu juga ruh serta nasib seisi zaman kita tak menemuinya di buku-buku atau di perpustakaan kita tak perlu mengenali atau mengejanya dengan jelas kita cukup sadar  dan mungkin berlari sejauh mungkin dari bayang-bayang

Bayang-bayang

Ada yang tidak mudah hilang dalam diri kita masing-masing: semacam bayang-bayang-- atau kau bisa menyebutnya sebagai proses kreatifitas dalam sebuah "perjalanan".  Lalu seperti kata Adonis:  "bayang-bayang sedang  tersesat dalam sebuah  perjalanan". Tapi belum ada hubungan yang jelas antara "Ketersesatan" dan "jalan" dalam penuturan Adonis. Dalam arti, apa sih makna konkrit dari sebuah ketersesatan itu? Benarkah ia telah melibatkan ruang terminologis tertentu dalam membatasi kata tersebut? Barangkali demikian: memang selayaknya sebuah puisi tak begitu tertarik memasuki ruang-ruang terminologis-- konstruksi-konstruksi yang terlampau mapan dan mengekang. Sedemikian ngambangnya maksud Adonis, rupanya beliau masih berbelas kasih kepada kita, ada sedikit isyarat yang ingin ia sampaikan: ketersesatan tak begitu berjarak dengan wujud "keterasingan".  Ya, Adonis benar. Dalam perjalan kehidupannya-- lebih tepatnya dalam rangka menjalani pergulat

Perihal...

"Tak seprti engkau maulana  hidupku tak sepenuhnya  janji-janji setia atau taman bunga bermekaran aroma cinta.” “Masih ada banyak jurang kesunyian, selalu bertambah,  menetes dan menjadi air bah meluluhlantakkan mengintai  membayangi  kesadaran dari semua arah.” “ Berhentilah disitu anakku.“ “ Begitulah kau harus mengerti   hidupmu tidaklah melulu   isi perut, detak jatung,    atau tetes darahmu,    hidupmu adalah ruhmu

Sesayap Doa Yang Sudah Sekian Lama Memilih Bertahan

cinta yang berteduh di bawah pohon waktu suatu saat akan rapuh tumbang menjadi debu

Di Balik Hening

Ada yang diam-diam  membuntuti malam dan riang, mengepung waktu yang berburu sisa-sisa harapan:  dingin. Hidup memang dingin samar tapi menahan Kau boleh saja berkata tidak dengan memilih acuh dan bodo amat saat media-media dipenuhi peperangan, meriam, darah dan potongan tubuh manusia   Hidup ini dingin ia tak begitu terang bisa saja ia tiba-tiba memadamkan api atau bahkan, tak segan menyembunyikan cahaya lalu manusia saling berebut curiga, kuasa dan fatamorgana