Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2019

Fesbuk Baru

Fesbuk baru. Ya begitulah, namanya saja fesbuk (dunia), sudah ngurus lama2 e tiba2 eror. Gak heran sih karena memang seperti itulah sifat dunia. Dalam term tauhid ia disebut al hadits: ma wujida ba'da an lam yakun maujudan: sesuatu yang ada yang sebelumnya tiada. Jadi wajar kalau "ada" yang ia sandang akhirnya kembali ke status asalnya: tiada. Masih terngiang2 dengan penjelasan Abu Daqiqoh dalam qoul sadid. Beliau menjelaskan bahwa karakter yang tak mungkin terpisahkan dari dunia yang hadis ini ( dalam dunia sajak yang sering dipakai adalah kata "fana", seperti kata Sapardi "dunia yang fana ini" ) adalah sifat tajaddudnya: ma tahaddada wa laisa lahu wujudun fil khorij. Yakni sesuatu yang keberadaannya mampu didefinisikan dan dimengerti, meskipun secara realitas keberadaan perkara tersebut tidaklah nyata.

Kata Yang Marah, Kata Yang Kalah

Di temaram malam  Ada gelap yang lebih suram Itulah politik bermata hitam Arus agama, arus baku hantam Hidup macam apa ini sayang Apa yang bisa kita perbuat Saat hidup dilawan kepercayaan Kenapa mesti membenci kekalahan Bukankah yang lebih menyebalkan dari kalah adalah saat aku t ak lagi pandai  menulis sajak kepada engkau yang percaya akan senja, serta mimpi-mimpiku yang belum nyata Tapi kini, bumi dipenuhi kata-kata marah Dan langit akan menjadi jam yang berputar  Dengan jarum dan pada arah yang sama: Sejarah kekerdilan umat manusia Kalah tak mesti lemah Kalah bisa jadi bukti terbesar Bahwa tanpa kekasih Seluruh kesepian entahlah Seperti kerinduan yang tak mungkin  dimengerti oleh para pembual yang pintar mengaku sendu yang damai disaat jauh. 23 Mei 2019

Rindu

Rindu adalah guru Bahwa tanpamu entahlah aku.

#

Engkau hanyalah kalimat yang ingin aku lupakan Yang sengaja aku biarkan  berjalan sendirian   Untuk sekedar aku ingat  Dan menjadi kumpulan paragraf  dalam catatan harian Entahlah betapapun aku mendiamkanmu Engkau tetap saja masuk kedalam tubuhku Mencuri napas aku diam-diam Lewat aroma kopi yang membuatku ketagihan Untuk k embali ke kafe dan menamani kesepian yang sama Adakah yang tak keruh dalam kehidupan yang fana ini?  Entahlah Bukankah kita percaya Selama ada cahaya Titik terang pasti akan datang Dan aku akan terus berdoa Semoga kelak kita akan menjadi buku Berisi huruf yang dipertemukan Kalimat yang tak singkat Atau sejarah yang diceritakan Dan kini yang ingin aku lakukan adalah belajar dari perjuangan Seperti hujan yang memeluk bumi agar tak merisaukan mendung Dan matahari yang bergegas membangunkan ibu pagi-pagi sekali Untuk segera menyiapkan seragam sekolah, sepatu dan kotak sarapan yang tak pernah peduli saat aku diejek teman-teman karena tak pandai menghapal pelajaran Tapi te

Anonim

Di musim panas ini Aku senang duduk di balkon Sendirian Menunggu angin Menemani kopi sampai tengah malam Sambil mencari alasan yang tak kumengerti Mengapa aku harus menulis puisi Menyusun kata setiap hari Untuk aku renungkan seorang diri Barangkali harus beginilah hidupku Sejak kecil dulu Seperti yang dikatakan ayah padaku Tak ada kesepian yang akrab dengan buku Dan puisi memang terlahir dari buku kehidupan  Kata yang berkejaran dengan arti dan kesadaran Walau diam-diam aku kesal mengapa aku begitu mudah untuk mencintai Pada kesunyian dan kesetiaan yang menyuruh aku tidak peduli Sampai kapan engkau  Akan bosan membaca puisi-puisi itu Yang terucap dalam bibirmu begitu saja Tanpa makna tanpa penafsiran yang pasti darimu.

Nostalgia

Setelah membaca buku karya Nashr Hamid Abu Zaid yang berjudul "al tajdid wa al tahrim wa al ta'wil" saya merasa sangat kebingungan. Khususnya ketika dia berbicara mengenai pembaharuan keilmuan islam.  Kenapa harus ada pembaharuan? Alasannya sederhana. Karena secara karakteristik undang-undang kehidupan selalu berubah, maka pandangan kita dalam konteks agama harus ikut berubah pula. Baginya, tidak bisa disebut pembaharuan jikalau apa yang kita lakukan hanya sebatas pengulangan terhadap pemikiran yang bersifat klasik, yang pernah diucapkan "di masa lalu".  Saking banyaknya kritikan yang ia lontarkan, sebagai pembaca yang berusaha obyektif, saya tidak ingin memihak ke salah satu pihak: Nashr Hamid dalam beberapa poin terkesan memihak ke muktazilah, dan sering menyerang paham-paham asy'ariyah. Saya bertanya-tanya apa yang diinginkan oleh seorang Nasr Hamid sebenarnya. Terkhusus ketika ia berbicara Al Quran sebagai sebuah diskursus ( al quran biwasfihi khitoban).

Hikmah

Entah kenapa ada yang berubah dalam diri saya saat ini. Salah satu contohnya adalah saat melihat buku "Al Hikam" ini. Sedikit cerita saja, sejak di pondok dulu saya sering baca-baca kitab ini, meskipun pada waktu itu saya masih duduk di kelas tsanawiyah, dan kitab ini hanya diajarkan khusus mutakhorrijin, alias yang sudah lulus saja, tapi rasa penasaran saya membuat saya terpaksa membolak-balik lembaran buku tersebut.  Kembali ke awal. Dulu ketika baca kitab ini, saya benar-benar percaya akan kebenaran dan keberkahan kitab ini. Tapi kalau sekarang, masih sama. Saya tetap percaya bahwa kitab ini sangat berkah, dan saya pun sudah berulang kali ziarah ke makam penulisnya langsung (Syekh Tajuddin Ahmad Ibnu Athaillah As Sakandari) yang berada di daerah Muqotom. Tapi dibalik semua itu, diam-diam saya bertanya-tanya: apa alasan atau bukti kalau kitab ini benar?  Kalau memang kebenaran itu hanya dicukupkan dengan sebuah pernyataan bahwa apa yang diajarkan oleh Ibnu Athaillah tersebu