Hikmah

Entah kenapa ada yang berubah dalam diri saya saat ini. Salah satu contohnya adalah saat melihat buku "Al Hikam" ini. Sedikit cerita saja, sejak di pondok dulu saya sering baca-baca kitab ini, meskipun pada waktu itu saya masih duduk di kelas tsanawiyah, dan kitab ini hanya diajarkan khusus mutakhorrijin, alias yang sudah lulus saja, tapi rasa penasaran saya membuat saya terpaksa membolak-balik lembaran buku tersebut. 


Kembali ke awal. Dulu ketika baca kitab ini, saya benar-benar percaya akan kebenaran dan keberkahan kitab ini. Tapi kalau sekarang, masih sama. Saya tetap percaya bahwa kitab ini sangat berkah, dan saya pun sudah berulang kali ziarah ke makam penulisnya langsung (Syekh Tajuddin Ahmad Ibnu Athaillah As Sakandari) yang berada di daerah Muqotom.


Tapi dibalik semua itu, diam-diam saya bertanya-tanya: apa alasan atau bukti kalau kitab ini benar?  Kalau memang kebenaran itu hanya dicukupkan dengan sebuah pernyataan bahwa apa yang diajarkan oleh Ibnu Athaillah tersebut telah mewakili nilai-nilai kebijaksanaan ( الحكم/ Alhikam yang artinya kumpulan hikmah) lalu saya berpikir, lantas apa bedanya dengan ajaran-ajaran filsafat Aristoteles, Plato dan Socrates yang kesemuaannya didasarkan pada satu titik yang sama: "love of wisdom", yakni mencintai kebijaksanaan. Atau bahkan semua hal yang berkaitan dengan filsafat, meskipun itu diajarkan oleh filsuf kristen seperti Thomas Aquinas, Descartes, juga oleh seorang filsuf komunis sekalipun seperti Marx adalah benar, karena semua capaian yang mereka dapatkan bermula dari pencarian akan hakikat kebijaksanaan, yang dalam hal ini mereka nisbahkan pada kebenaran (al haq). 


Tapi semua uneg-uneg itu saya bantah sendiri. Seperti yang dijelaskan Said Fudah dalam bukunya Taammulat fi al fikr al falsafi 'inda al Imam al Asy'ary bahwa "shopos" yang dikehendaki para filsuf berakhir pada pembenaran yang cenderung subjektif, i'tibari dan nisbi. Pada akhirnya kebijaksanaan yang mereka ajarkan (para filsuf) dipenuhi dengan perselisihan yang tak jarang bersifat desktruktif, dan semuanya mengaku benar, bahkan dari kalangan Sofis sekalipun. 


Saya senyum-semyum sendiri melihat perdebatan yang hanya berputar-putar di kepala tersebut. Pada akhirnya, yang bisa menenangkan batin saya hanyalah dasar-dasar teologis. Tapi saya masih belum puas dengan jawaban itu. Saya masih mempertanyakan: dari sudut pandang mana isi kitab "al hikam " ini bisa dikatakan "benar". Saya masih membutuhkan penjelasan lain, yang saya anggap cukup dan logis. 


Tadi malam, setelah merasa cukup lelah habis belanja barang-barang pesanan dan ngafe sebentar, dalam perjalan pulang saya bertemu dengan sebuah penampakan yang mengejutkan. Di sebuah jalan yang sangat ramai tempat orang-orang lalu lalang, ada seorang laki-laki (gelandangan) yang tidur disamping jalan. Dengan gaya tengkurap, sambil menutupi wajahnya dia tidur di atas tanah tanpa alas sama sekali. 


Pemandangan tersebut terus berlarian di kepala saya sepanjang perjalanan. Setibanya di nafaq sebelah masjid Azhar, saya teringat dengan kejanggalan mengenai kitab al hikam yang telah megusik pikiran saya akhir-akhir ini. Hati saya bergetar, dan saya pun sadar,  bahwa tanpa ilmu pengetahuan kita tidak akan tahu dimana arah kebenaran yang harus dituju. Tanpa kebijaksanaan kita tak akan mengerti nilai-nilai keluhuran, dan sadar betapa kehidupan layak untuk diperjuangkan. Saya yakin, andai laki-laki yang tidur dipinggir jalan tadi mau belajar dan mempunyai sedikit ilmu saja, pasti dia tidak mau melakukan perbuatan yang telah menghilangkan harga dirinya itu.  


    يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ


 فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو


 الْأَلْبَابِ

[Surat Al-Baqarah 269]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?