Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2019

Pragmatisme; Upaya Pertemuan Ide Dan Realitas, dan Upaya Pemisahan Diri Dari Sejarah

Ketika mengkaji sejarah pemikiran umat manusia, kira-kira apa yang paling berkesan dalam diri kalian? Kalau saya merasakan betapa “manusia bukanlah makhluk yang sederhana”. Maksudnya, dari sisi sejarah, kehidupan manusia mempunyai batas temporal masing-masing. Tapi tidak dengan pemikirannya. Pemikiran manusia terus bergerak dari satu masa ke masa. Seolah-olah tidak bisa diketahui kapan selesainya proses pencarian tersebut, atau memang manusia tidak ingin menghentikan pemikirannya sendiri. Akibatnya, kita yang hidup di masa kini merasa sangat kesulitan dalam menghadapi warisan sejarah pemikiran para pendahulu kita. Bahkan dalam praktiknya, sejarah tersebut tak sesederhana saat dibayangkan bahwa ia adalah warisan, justru karena sering berisi “rumusan-rumusan” kebenaran yang saling bertentangan satu sama lain, maka lebih tepat jika diartikan sebagai “beban mental-intelektualitas” yang harus ditanggung umat manusia setelahnya. Meskipun demikian adanya, lagi-lagi manusia dalam masa tert

Catatan Singkat Saat Sedang Sakit

Sakit: bisa berarti musibah, bisa juga ujian atau anugerah. Kita semua mengetahuinya. Tapi sakit bisa juga berarti "fase", dimana seseorang merasakan keterbatasan. Terkadang yang "lebih baik" itu tidak melulu tentang kuat dan kuasa. Kita mesti sadar selama kita kuat, selain menanggung tugas-tugas, kita juga semakin dibelenggu oleh "urusan" yang kita buat dan pikirkan sendiri. Kadang saya sendiri sadar, sekaligus jengkel betapa sebenarnya saya terlalu sibuk dengan apa-apa yang keluar dari rencana dan pikiran sendiri yang terbatas ini-- dan tak jarang "aku" menjadi budak atas ke-"aku"-anku sendiri. Tapi Tuhan terus mengawasi kita. Dialah yang sejatinya sejati sang Pengajar alam semesta ini. Disaat manusia sudah terlampau melewati batas, dia turunkan "sedikit" rasa sakit, sebagai isyarat bahwa manusia harus beristirahat. Manusia harus memikirkan ulang apa yang sebenarnya terjadi, seberapa jauh dia telah mengikuti "diri"

Yang Tidak Pasti

Seperti biasanya, tadi pagi saya bangun jam satu an. Maen hp sebentar terus ke "hamam", mandi dan gosok gigi. Setelah itu langsung solat dzuhur. Lalu lihat masih ada bekas kopi tadi malam yg masih banyak, saya pun bersantai ria dirumah: buka youtube, musikan, ngopi dan baca-baca sedikit. Tidak ada kegiatan apa-apa hari ini, cuman ada dua target saja: belanja buat pesanan, lalu ngirim ke pihak penjual bagasi, karena pemilik bagasi terbang ke jakarta besok malam,  satunya lagi ada tanggungan buat tulisan yang harus diselesaikan terakhir hari ini. Sebelum garap kerjaan tadi, saya harus masak dulu buat sarapan (sekitar jam tiga sore). Maklumlah, namanya saja "jomblo tegar pribadi". Setelah sarapan, saya harus melakukan rutinitas harian: nyisah. Sudah pas, karena tokonya buka agak sorean, kadang habis magrib, jadi saya rencana belanja agak entaran.  Setelah semua cukup, saya langsung bergegas berangkat dinas. Rutenya: belanja, bagasi dan ketemuan untuk garap tulisan.  Te

Warisan Turos Abdul Qahir Al Jurjani

Membaca tulisan Syekh Abu Musa dalam majalah Azhar edisi september kali ini membuat saya sadar, betapa keluhuran warisan ilmu para pendahulu menandakan kebijaksanaan mereka dalam menyikapi perbedaan. Seperti dalam tradisi ilmu ma'ani wa bayan, Abdul Qahir Al Jurjani (400-471 H) misalnya, meskipun bermadzhab Asy'ari beliau tidak segan untuk membaca turats Al Jahidz, seorang ulama fanatik madzhab muktazilah. Meskipun mempunyai perbedaan dalam ranah teologis, Abdul Qahir mengakui bahwa apa yang ia baca dan ia temui dari Al Jahidz adalah semacam "isyarat-isyarat" dan "simbol-simbol" yang pada akhirnya beliau rumuskan dan konsepsikan dalam dua kitab Magnum Opusnya: "asror Al balaghoh" dan "dala'il i'jaz". Lalu setelah masa Abdul Qahir, munculah seorang ulama yang pakar dalam tafsir. Dia adalah Imam Az-Zamakhsyari (467-538 H). Waktu itu beliau seolah-olah merasa tidak cukup dengan kajian tafsir di masanya yang hanya dipenuhi analisis-an

Buku Bekas dan Madzhab Hegelian

Tepat sekali kalau Cairo disebut sebagai surganya buku. Tidak hanya buku-buku yang membahas kajian keislaman seperti dalam bidang turots dan kontemporer saja, banyak juga buku-buku yang diterjemahkan dari literatur barat, entah itu filsafat, sastra, ekonomi, politik dll.  Bisa dikatakan kalau gengsi orang-orang Mesir tentang buku sangatlah tinggi. Subsidi yang diberikan oleh negara untuk menunjang literasi di sini pun cukup tinggi. Dan itu sangat wajar bagi sebuah negeri yang mempunyai rekam jejak peradaban yang besar di masa lalunya.  Jadi bukan hal aneh jika ada banyak buku yang dijual sangat murah, dan menurut saya, bahkan kadang sampai terkesan tidak wajar, jika dilihat dari ketebalan serta kualitas isi yang wow sekali. Bahkan setau saya, perbandingannya bisa sampai sepuluh kali lebih murah dibanding buku-buku yang dijual di Indonesia (seperti gramedia misalnya). Tapi dari sekian banyak toko buku yang ada, yang paling favorit bagi saya ya tetep "Azbakiah", alias buku-buku

Eksklufitas

Ingat dulu pas di pondok. Kata Mustahiqku (panggilan untuk ustadz di pondok) : "Ilmu yang kalian dapat di dalam kelas itu hanya 30 persen. Selebihnya tergantung seberapa kalian mengembangkan diri di luar kelas." Begitu juga didikan orang tua. Untuk memahami apa yang diajarkan di sekolah (saat itu masih SD), dulu seringkali orang tua saya membelikan buku-buku di toko buku yang kira-kira tebalnya tiga sampai lima kali lebih besar dari buku pelajaran yang diajarkan di sekolah. Sambil menggembala kambing saya sering membawa buku-buku tersebut karena dituntut oleh orang tua untuk dikhatamkan. Lalu kalau sudah khatam dibelikan lagi begitu seterusnya.  Dan sekarang di Azhar, yang tak henti-henti ditekankan oleh Masayikh dan Para Duktur adalah membaca dan membaca. Untuk tahap seorang pengkaji keilmuan, selain perlu akan bimbingan, kita juga harus membaca, mencari dan menghayati segala hal. Baik itu  penikiran-pemikiran yang bersifat "dalam", atau "luar". Dengan de