Pragmatisme; Upaya Pertemuan Ide Dan Realitas, dan Upaya Pemisahan Diri Dari Sejarah



Ketika mengkaji sejarah pemikiran umat manusia, kira-kira apa yang paling berkesan dalam diri kalian? Kalau saya merasakan betapa “manusia bukanlah makhluk yang sederhana”. Maksudnya, dari sisi sejarah, kehidupan manusia mempunyai batas temporal masing-masing. Tapi tidak dengan pemikirannya. Pemikiran manusia terus bergerak dari satu masa ke masa. Seolah-olah tidak bisa diketahui kapan selesainya proses pencarian tersebut, atau memang manusia tidak ingin menghentikan pemikirannya sendiri. Akibatnya, kita yang hidup di masa kini merasa sangat kesulitan dalam menghadapi warisan sejarah pemikiran para pendahulu kita. Bahkan dalam praktiknya, sejarah tersebut tak sesederhana saat dibayangkan bahwa ia adalah warisan, justru karena sering berisi “rumusan-rumusan” kebenaran yang saling bertentangan satu sama lain, maka lebih tepat jika diartikan sebagai “beban mental-intelektualitas” yang harus ditanggung umat manusia setelahnya.
Meskipun demikian adanya, lagi-lagi manusia dalam masa tertentu tetap dituntut mengulangi apa yang telah dipikirkan para pendahulunya. Kita dituntut untuk merumuskan, dan menentukan, atau setidaknya memilih jalan manakah yang akan kita tempuh untuk melanjutkan tugas sejarah yang tidak henti-henti ini.
Kurang lebih demikianlah yang ingin dilakukan oleh Charles Sanders Peirce (1838-1914). Dia adalah tokoh yang sangat berpengaruh pada akhir abad 19. Dialah yang pertama kali memelopori filsafat Pragmatisme, lalu dilanjutkan William James dan John Dewe sehingga aliran ini mempunyai pengaruh yang sanga besar hingga abad 20, atau bahkan hingga kini.
Pada mulanya pemikiran-pemikiran Peirce sebenarnya tidak begitu diterima oleh orang-orang di jamannya. Tapi justru yang menerimanya adalah orang-orang setelahnya. Menurut Peirce, yang pantas untuk disebut dengan pemikiran ialah sesuatu yang hanya menghasilkan “tindakan” saja. Pengetahuan itu dianggap “ada” jika ia mampu menghasilkan sebuah tindakan yang mungkin untuk disaksikan keberadaannya oleh manusia di saat ia menginginkannya. Maka dalam pandangan pragmatisme, pemikiran atau ide yang tidak bisa dilakukan, atau tidak berkaitan dengan realitas maka ia adalah pemikiran yang salah. Bahkan dalam urusan teologis sekalipun, Peirce ingin mempraktikkan idenya tersebut. Menurutnya, keyakinan akan “Alloh” Swt itu bisa dibenarkan jika keyakinannya tersebut mampu memberi dampak terhadap perilaku dalam kehidupan nyata.
Seperti yang diterangkan oleh Zaki Najib Mahmud, bahwa pemikiran Peirce berpusat pada dua persoalan mendasar: pertama tentang “makna” dan yang kedua adalah tentang “ keyakinan”. Adapun yang pertama itu berusaha menjawab pertanyaan “ kapan suatu kalimat atau ungkapan bisa dikatakan mempunyai makna? “ Sedangkan yang kedua ialah berusaha menjawab pertanyaan “ jika bagi keyakinan tertentu terdapat sebuah kepercayaan bahwa di “dunia luar” ada beberapa hal yang memiliki sifat-sifat tertentu, lalu bagaimana cara menguraikan sesuatu tersebut? “ .Pada dasarnya dua pemikiran dasar ini mengarah lada satu kesimpulan yang sama, bahwa antara “gagasan dan tindakan” adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Bagi Peirce, makna sebuah kata adalah sesuatu yang digunakan manusia untuk memenuhi segala kebutuhannya yang berkaitan dalam kehidupan di dunia. Jika sebuah kata tak lagi memberi dampak apa pun dalam hidupnya, maka kata tersebut tak bermakna lagi, atau bukan apa-apa. Begitu juga yang menyangkut tentang persoalan kontemplatif dalam dunia filsafat. Suatu persoalan filosofis adalah apa yang mungkin diuraikan oleh manusia dalam kerja filsafatnya. Serumit apa pun persoalan tersebut, manusia mesti menyelesaikannya meski harus menghabiskan berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus tahun lamanya. Tapi coba kita lihat pada persoalan seperti “ apakah akal dan materi berupa dua unsur yang saling berbeda, atau saling berkaitan satu sama lain? “, atau seperti persoalan “ apakah roh manusia itu abadi ataukah fana?” Mengapa persoalan semacam ini tidak bisa terpecahkan, padahal para filsuf dari satu masa ke masa telah sepakat sekuat tenaga mencari untuk mencari jawabannya. Mengapa bisa terjadi demikian, apakah pertanyaan ini sudah keluar dari kekuatan manusia sehingga belum juga terpecahkan secara pasti jawabnya hingga kini?
Tidak, menurut Peirce persoalan semacam ini bukan karena bobot pertanyaannya, tapi karena esensinya yang perlu dipersoalkan. Baginya, persoalan semacam ini adalah sesuatu yang “palsu”. Ia mengatakannya palsu karena tidak ada hubungannya dalam praktik-praktik kehidupan (realitas).
Proyek yang dilakukan oleh Peirce ini memang proyek yang sangat besar. Yaitu upaya memaksakan filsafat agar selaras antara ide dan dampak tindakan secara langsung. Sebab itu ia menolak filsafat sebelumnya yang sibuk mencari perkara-perkara esensial. Sebagaimana ia menolak aliran idealisme Hegel yang sempat ramai pada permulaan abad 19, begitu juga aliran neo-kantian yang menjadi gelombang baru pada paruh kedua abad ini juga. Tapi seperti yang dikatakan Zaki Najib Mahmud, bahwa yang mempunyai pengaruh besar hingga abad ke 20 (atau bahkan hingga kini) tetaplah filsafat aliran pragmatisme.
Sayangnya, Zaki Najib Mahmud tidak menyebutkan nama-nama para pemikir kontemporer (khususnya pemikir Islam) yang terpengaruh oleh aliran pragmatisme ini. Dan hal ini membuat saya mencari tahu, benarkah apa yang dikatakan oleh Zaki Najib Mahmud tersebut.
Pada umunya, banyak dari pemikir-pemikir Islam kontemporer yang mempunyai corak seperti Peirce. Khususnya mereka yang menyuarakan “tajdid”, atau “islah” terhadap wacana-wacana keislaman. Coraknya sama, yaitu upaya merekonstruksi pemikiran-pemikiran Islam yang lebih mengarah pada “turats”, yang menjadikan umat Islam terbius dengan pemahaman-pemahaman “masa lalu” sehingga tidak lagi mampu dalam menghadapi tantangan “dunia modern”.
Di antara yang paling mencolok adalah Hasan Hanafi. Seorang pemikir besar dari Mesir. Dalam proyek “tajdid” yang ia suarakan, dia hendak menolak konsep-konsep ilmu kalam yang telah berdiri dan dipelajari selama ratusan (bahkan ribuan) tahun. Menurut Hasan Hanafi, objek teologis para ulama yang mengarah pada “dzattulloh” adalah kesalahan. Dzat bagi Hasan Hanafi adalah kemutlakan. Selama Dia menjadi objek kajian, maka Dia akan dibawa ke dalam penisbatan-penisbatan. Dan tindakan semacam itu akan menghilangkan kemutlakan-Nya. Jadi salah kalau akidah mengarah kepada dzat, sifat-sifat dan perbuatan Alloh Swt. Ilmu kalam seharusnya mengarah pada manusia. Sebab itu, kita akan menyaksikan seorang Hasan Hanafi akan memperlakukan wahyu berbeda dengan para ulama. Yaitu pergeseran dari pola pikir teosentris menuju pola pikir antroposentris.
Akhirnya, ketika kita membaca pemikiran-pemikiran Hasan Hanafi, maka seolah-olah kita sedang menyaksikan dunia sedang dalam keterbalikan. Sebagaimana dia meletakkan konsep para ulama terdahulu secara terbalik.
Entah, apakah Hasan Hanafi memang benar-benar terpengaruh dengan gagasan-gagasan Peirce, saya belum bisa memastikan. Tapi ada kecenderungan yang sama. Yakni memaksakan segala pemikiran ke dalam misi filosofisnya: menyelaraskan antara ide-ide dengan realitas. Tapi yang pasti, dari keduanya, kita bisa menyimpulkan, bahwa manusia dalam sejarah pemikirannya, sangat bisa dipertemukan dari satu masa ke masa yang lain. Tapi di waktu yang sama, manusia sendirilah yang menjadikan pemikiran semakin terpisah-pisah dalam sebuah pergerakan sejarah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?