Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2019

Mari Membaca; Mari Menjemput Kesadaran

Saya pernah sowan ke salah satu Kyai yang sangat dikenal kealimannya di daeerah Kediri. Waktu itu pas sowan habis lebaran, saya ditemui di teras "ndalem", beliau cerita banyak hal mengenai ilmu dan dunia kepesantrenan. Salah satu yang saya tangkap dari penjelasan beliau waktu itu ialah, perhatiannya dan keinginannya untuk mengembangkan bidang literasi kepesantrenan. Pasalnya, dalam konteks keilmuan Islam, tidak dipungkiri lagi bahwa yang mempelajari dan menekuni ilmu-ilmu islam klasik (turats) secara mendalam adalah mereka yang belajar di pesantren salaf. Meskipun demikian, merupakan fakta yang sangat mengejutkan bahwa kesadaran literasi teman-teman santri sangatlah minim. Biasanya, mereka yang hanya mondok di pesantren saja tanpa melanjutkan ke dunia akademik,  apalagi jika disertai cara pandang yang eksklusif, tentu akan sulit sekali berkembang, dalam arti kurang mampu memberikan gagasan-gagasan yang kreatif yang dihasilkan dari pemahaman terhadap turats. Khususnya dalam be

Firman

"The Qur’an, the universe, and humanity are three kinds of manifestations of one truth." ~ Said Nursî Kehidupan terus bergerak. Banyak hal yang senantiasa terjadi dan berlalu begitu saja. Seolah-olah semua terpisah dan menyusun bab-bab sejarahnya sendiri-sendri yang sulit dimengerti secara utuh-- lantas siapakah yang bisa menjamin "keutuhan" dalam kehidupan yang disekap oleh paradoksal ini.  Lalu pertanyaan selanjutnya, siapakah yang lebih natural: alam  semesta ataukah pikiran manusia? Entahlah, selain kita perlu untuk membaca gejala-gejala luar dari alam semesta, yang tak kalah penting untuk kita mengerti dan pahami adalah  sesuatu "yang dalam" pada manusia itu sendiri. Banyak hal yang bisa ditumakan dalam diri manusia: kata-kata, rencana, cita-cita, harapan, keputus asaan, ketulusan, kekeruhan, kebencian, ketakutan, siasat, doa, dan... ketidaktahuan yang berarti pula ketakutuhan. Barangkali demikian, setengah dari manusia adalah anugerah, dan setengahny

Gus Miek

Ada sebuah percakapan menarik yang terjadi diantara Dua Gus (dua wali) yang selalu menjadi "panutan" kita bersama, yaitu Gus Miek dan Gus Dur. Saya sudah lupa baca dari mana, tapi saya masih ingat betul bagaimana isinya. Kurang lebih seprti ini: Gus Dur: " Menurut njenengan gimana kondisi Indonesia ke depan Gus? " Tanya Gus Dur kepada Gus Miek.  Dengan sangat enteng Gus Miek menjawab: " Halah, santai, di Indonesia ini yang bermasalah sebenarnya hanya dua Gus."  "Siapa Gus? " kejar Gus Dur. Jawab Gus Miek: " Kamu dan saya." Dulu ketika mbaca ini saya senyum-senyum sendiri. Merasa kagum dan asik saja dengan tindak lampah kedua ulama itu. Saat itu saya gak berpikir yang aneh-aneh, karena setahu saya yang mencirikan beliau berdua adalah nyentrik dan nyeleneh. Tapi belakangan saya sadar,  bahwa jawaban yang dilontarkan Gus Miek itu gak hanya normatif, tapi juga mempunyai ada muatan teoritis juga. Yaitu sesuai dengan salah satu aforisma Ibnu

Atif 'Iraqi dan Mitos Perang Kebudayaan

Sejak dulu saya sering mendengar ada istilah "perang pemikiran". Saking populernya istilah ini, sampai seringkali saya mendengarnya, padahal waktu itu saya masih duduk di dunia pesantren salaf yang notabene "asing" dengan isu-isu kekinian. Perang pemikiran yang diterjemahkan dari bahasa arab "gazhwul fikri" ini, cukup ramai dibahas dan dibicarakan dalam literatur Indonesia. Meskipun sangat populer, sampai sekarang belum diketahui secara pasti siapa yang memunculkan istilah ini. Tapi setelah saya cari tahu, dalam literatur Indonesia rata-rata media yang menyuarakan gerakan tersebut lebih dominan kepada "orang-orang kanan", meskipun tidak semuanya.  Inti dari gerakan ini adalah anti-barat. Karena barat adalah kafir, maka segala yang berasal dari barat perlu untuk kita tolak. Narasi yang sering dibangun ialah, bahwa dalam sejarah, Islam terbukti menang ketika berperang melawan orang-orang kafir secara fisik, maka yang harus ditempuh oleh orang kafir

Yang Tinggi

Aku ini anak seorang petani tulen. Dari situ aku belajar apa falsafah bertani, bahwa untuk menuju hasil, ada beberapa hal yang menjadi syarat yang tidak bisa diabaikan: biji, tanah, dan kerja tani. Biji itu bisa diartikan niat, tanah adalah bahan atau materi, dan kerja adalah prosesnya.  Jadi nasi yang kita makan setiap hari itu bukan sesuatu yang biasa-biasa saja. Karena ketika dia sudah menjadi nasi, berarti dia sudah "berhasil" dalam pembentukan dirinya sendiri dengan melalui tiga persyaratan tadi. Lalu bagaimana dengan kita, sudahkah kita menjadi manusia yang "berhasil"?  Barangkali keberhasilan kita sebagai manusia tak jauh beda dengan falsafah pertanian tadi. Misalkan dalam urusan mencari ilmu, dulu pas di pesantren seringkali Mbah Kyai bilang, bahwa syarat tahsilul ilmi itu ada tiga: niat seorang santri, pengajaran sang guru, dan kerja keras orang tua. Satu saja luput, maka sulit untuk hasil. Menurut saya, tiga syarat tersebut gak sepele. Misalkan untuk yang

Berselisih Untuk Benar

Di suatu malam, ada isu menarik yang menjadi bahan obrolan antara saya dan teman-teman. Berawal dari teman saya yang memberi kabar, bahwa ada salah satu masisir (mahasiswa mesir) yang memiliki "latar belakang" tertentu ingin mendirikan komunitas kajian baru yang dianggap sama dengan manhaj Azhar.  Kalau benar apa yang dikatakan demikian, berarti komunitas-komunitas kajian seperti Lakpesdam, Mizan, Sasc Nu, Lbm, Akar dll menurut orang tesebut tidak bermanhajkan al-Azhar. Isu ini menarik. Tapi cukup mengesalkan, dan saya rasa "kita" yang selama ini berusaha aktif di dunia kajian tidak perlu marah lantas meneror atau memberikan aksi berupa hujatan dan ujaran-ujaran kebencian. Itu tidak menyelesaikan masalah. Kita cukup ngopi, nyisah dan sedikit "misuh" gitu saja. Tapi setelah tak pikir-pikir, ini bakalan asik kalau si orang tadi bisa membuktikan dan merealisasikan gaasannya tadi. Dia ngumpulin masa yang sependapat dengan dia, lalu membentuk kajian, dan sampai

Menulis Untuk Menghidupkan Masa Kini dan Masa Depan

Yang tak mungkin terlepas dari perpisahan adalah kenangan, kesan-kesan, dan, penyesalan. Dari tiga hal tadi, yang mau saya bahas dalam tulisan kali ini adalah yang ketiga. Ya saya menyesal sekali; mengapa selama mondok di Lirboyo dulu saya tidak bisa menulis. Betapa meruginya diri ini karena tidak mengenal "bahasa peradaban" itu. Kalau dihitung, tidak sedikit durasi waktu yang saya habiskan untuk belajar agama di Kediri. Kurang lebih sembilan tahun saya nyantri di kota yang di juluki "qoryatul auliya" itu. Tapi mana hasil yang bisa saya hadiahkan kepada anak-anak zaman sebagai hasil dari pencarian dan pemaknaan? Tidak ada. Bahkan terlihat lucu seumpama suatu saat ada yang bertanya kepada saya apa yang sudah saya hasilkan setelah "gemblengan" bertahun-tahun itu, lalu saya asik menjawab sambil bernostalgia bahwa dulu saya pernah mengkhatamkan kitab ini, kitab itu, sudah hapal kitab ini, kitab itu. Terus terjebak dalam romantisme masa lalu.  Tidak ada aksara,

Tak Pernah Usai

Belajar itu tidak mudah. Ada tantangan tesendiri yang harus dijalani: seberapa tangguh dan setia kita terhadap ilmu yang kita mau. Terkadang saking sulitnya dalam memehami bab atau fan tertentu, sudah diulang berkali-kali, dan bahkan menghabiskan waktu yang cukup banyak, tapi tetap saja merasa gagal paham, dan, di waktu seperti itulah kadang perasaan "yang tidak-tidak" itu keluar: semacam pesimisme, kecewa yang terbayarkan pada diri sendiri, seolah ingin menyerah, dan berontak. Tapi alam bawah sadar tak menyukai kesadaran semacam itu. Memuakkan!  Setidaknya aku ingin jujur: bahwa potensi, kesempatan, dan "kemungkinan" tak selalu datang dan hadir dari diriku sendiri. Dan aku, atau bahkan kita semua, sudah semestinya memahami bahwa salah satu alasan mengapa kita senantiasa berjalan hingga kini adalah karena ada hal istimewa yang memang dihadiahkan Tuhan kepada kita: seperti doa ibu, dukungan ayah, semangat sahabat, berkah guru dan orang-orang soleh.  Barangkali hal se

KONSULTASI

Ceritanya kemarin saya telat pas talaqqi kitab dala'l i'jaz. Tapi masih sempat ikut setengah pengajian beliau, Syekh Muhammad Muhammad Abu Musa, salah satu anggota "hai'ah kibar ulama". Terus setelah selesai, beliau pun beranjak meninggalkan kursi tempat ngajar dars. Lalu dalam perjalanan pulang saya berniat untuk konsultasi kepada beliau, terus saya bilang: "Maulana, sa ya mau tanya.."  "Iya buruan! " jawab beliau. "Maulana begaimana pendapat anda menyikapi.....? " saking semangatnya saya sampai ngomong ngalor ngidul gak jelas. " Kamu ini ngomong apa? " Jawab beliau sambil melanjutkan perjalanannya.  "Tapi gini maulana...." Saya berusaha mengarah kepada poin kejanggalan saya. Lalu beliau berhenti, sambil bertanya: " Kamu baca buku apa? " "Ali harb Maulana.." "Siapa itu Ali Harb? " Saya diam sebentar, sedikit bingung sambil mencari jawaban yang tepat. "Itu yang pemikirannya sama d

Rasionalitas Ilmu Periwayatan Hadis

Benar atau tidak, akhir-akhir ini saya merasa kalau pengkaji ilmu hadis terbilang sangat sedikit jika dibanding dengan ilmu-ilmu keislaman yang lain. Seperti contoh dalam lingkungan pesantren salaf, menurut hemat saya teman-teman santri lebih cenderung kepada ilmu nahwu-sorof, ilmu balaghoh, tafsir, ilmu kalam, dan yang paling ramai dan selalu meriah adalah ilmu fikih. Tapi ilmu hadis, sangat jarang sekali. Dulu ada teman yang ingin membentuk komunitas kajian ilmu hadis kecil-kecilan, dan dia mengeluh kepada saya bahwa disamping sedikitnya anggota kajian, dia juga kesulitan menemukan rujukan yang luas yang berbicara seputar ilmu hadis. Artinya, dalam lingkungan pesantren pun dirasa sangat minimnya "dirosah" serta fasilitas berupa literatur-literatur arab yang mengarah kepada ilmu hadis. Kalau kitab-kitab klasik seperti kutubus sittah banyak tersedia di toko-toko kitab. Tapi ya terkesan itu-itu saja. Tidak ada buku-buku lain yang sekiranya bisa menyegarkan pandangan teman-tema

Kesadaran Literasi

Setelah mengikuti kajian ilmiah bersama teman-teman Himasal Mesir yang mengangkat tema "Feminisme" tadi malam saya perlu membuat catatan ringkas ini. Diantara yang memantik saya untuk membuat catatan adalah setelah mendengar pernyataan si pemateri, bahwa setelah dia susah payah bergelut dengan data dan tulisan selama dua minggu itu ternyata setelah tulisannya jadi, penulis merasa aneh dengan tulisannya sendiri. Dia kesal karena merasa apa yang dia tulis ternyata bukanlah apa yang ada di dalam kepalanya.   Mendengar itu saya sontak ketawa sendiri. Hal semacam itu memang lazim dirasakan bagi kita yang kurang "terbiasa", atau "terlatih" untuk menyampaikan gagasan dalam bentuk tulisan. Dunia literasi bukan dunia pemaknaan atau perdebatan secara verbal. Seperti yang dikatakan Puthut Ea, menulis adalah ilmu sendiri. Dunia literasi memang tak cukup diwakili dengan adanya pemahaman yang mendalam atau analisis yang tajam begitu saja. Dunia literasi adalah dunia ka

Sebaik-baiknya Islam

Kepikir gak sih, kalau sekarang ketika kita tumbuh cukup besar ternyata kita semakin ngerasa bahwa kemauan dan rencana kita ternyata juga tambah besar. Besar dalam arti banyak, aneh-aneh, ruwet dan cenderung rumit. Tidak seperti pas masih kecil dulu, yang tak banyak rencana, tak banyak pengaruh dan perbedaan. Dulu pas masih kecil, dalam melakukan banyak hal kita lebih tulus, polos, ikhlas dan apa adanya. Makanya apapun yang kita hadapi saat itu semuanya terkesan senang-senang dan menikmatinya.  Itu dilihat dari sisi kehidupan yang bersifat umum. Belum kalau dilihat dari sisi yang bersifat khusus dan personal. Saya rasa semuanya sama, bahwa manusia ketika tumbuh dewasa maka mau tidak mau dia harus berhadapan segala yang bersifat prinsipil; berkaitan erat dengan pandangan-pandangan dan tujuan kehidupan.  Maka saat itu dia akan diajak berbicara mengenai masalah-masalah yang serius seperti agama, ideologi dan politik misalnya. Dan berkaitan dengan itu semua, yang menjaga eksistensi diri ki