Atif 'Iraqi dan Mitos Perang Kebudayaan

Sejak dulu saya sering mendengar ada istilah "perang pemikiran". Saking populernya istilah ini, sampai seringkali saya mendengarnya, padahal waktu itu saya masih duduk di dunia pesantren salaf yang notabene "asing" dengan isu-isu kekinian.

Perang pemikiran yang diterjemahkan dari bahasa arab "gazhwul fikri" ini, cukup ramai dibahas dan dibicarakan dalam literatur Indonesia. Meskipun sangat populer, sampai sekarang belum diketahui secara pasti siapa yang memunculkan istilah ini. Tapi setelah saya cari tahu, dalam literatur Indonesia rata-rata media yang menyuarakan gerakan tersebut lebih dominan kepada "orang-orang kanan", meskipun tidak semuanya. 

Inti dari gerakan ini adalah anti-barat. Karena barat adalah kafir, maka segala yang berasal dari barat perlu untuk kita tolak. Narasi yang sering dibangun ialah, bahwa dalam sejarah, Islam terbukti menang ketika berperang melawan orang-orang kafir secara fisik, maka yang harus ditempuh oleh orang kafir dalam melawan Islam ialah dengan mengadakan pelerangan non fisik. Itulah yang disebut "perang pemikiran". Perang semacam ini-- menurut mereka-- lebih berbahaya daripada perang fisik. Oleh sebab itu, pemikiran-pemikiran barat sangat mereka tolak karena dianggap selalu "menyerang" dan "meracuni" keyakinan umat Islam. 

Tapi saya tidak ingin berbicara lebih jauh mengenai tema ini. Saya lebih tertarik dengan tulisan Atif 'Iroqi dalam kitabnya yang berjudul "tsauroh naqd". Saya menemukan tema yang sangat menarik dalam buku tersebut, yang saya rasa juga berkaitan dengan wacana "perang pemikiran" di atas: dalam bukunya, Iroqi membuat tulisan yang berjudul " Usturoh al Gazhw al Tsaqofi", yang secara literal berarti "Mitos Perang Kebudayaan". 

Bagi seorang pemikir seperti Atif 'Iroqi, "Gazhwut Tsaqofi" adalah lelucon. Bahkan lebih dari itu, dia adalah "mitos", yang keberadaanya masih tidak jelas, tidak logis, tapi dipercayai oleh sebagian orang. 

Mengiyakan adanya "perang kebudayaan", berarti mengiyakan adanya peperangan antara budaya Islam Arab dan budaya barat-- yang berarti selalu ada benturan antara keduanya. Budaya Islam Arab dan budaya Barat selamanya bertentangan, dan tak mungkin disatukan. Atif 'Iroqi tidak bisa menerima paham semacam ini. 

Kata Iroqi, kita semua mengerti bahwa kini barat adalah "lambang kebesaran" suatu peradaban. Di sana, kita menemukan semua hal-hal baru yang sangat mengagumkan yang berkaitan dengan kesusatraan, seni, sains dan ilmu pengetahuan. Bahkan menurut Atif Iroqi kita perlu berandai-andai kalau dunia Arab bisa menjadi bagian dari kebesaran budaya tersebut.  Khususnya dalam ranah pemikran. 

Mengapa musti demikian? Ya, karena menurut Atif Iroqi, kini dunia arab (Islam) tidak mempunyai pemikiran-pemikiran baru yang mencerahkan. Katanya: "

Kita tidak menemukan ide-ide yang baru dalam diri kita. Dalam dunia pemikiran kita tak lebih dari sekedar agen."

"Apakah ini rasional setelah adanya kerja sama (anatara kita dan barat) untuk masih berbicara 'perang kebudayaan'?"

Justru sebaliknya, yang harus kita lakukan adalah berusaha sekuat tenaga untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran yang berkembaag di barat, baik itu melalui penerjemahan-penerjemahan atau melalui sistem pengajaran. Hal itu tak lain agar kita orang-orang Islam "mampu" mengimbangi dan berdialektika dengan peradaban-peradaban besar  di dunia. Katanya: " Msebuah kebudayaan yang berjalan di tempat tidak mampu menghasilakan seorang cendikiawan. Dan kebudayaan yang hanya bersifat lokal (saklek) juga tidak akan menghasilkan pemikir-pemikir kontemporer."

Kalau kita mau melihat kepada sejarah, justru para pendahulu kita sangat terbuka dengan pernedaan dan dialog antar-kebudayaan. Seperti Al-Ghazali dan para ulama terdahulu yang mengadopsi ilmu mantik dari Yunani untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan ajaran Islam. Ibnu Rusydi yang berusaha membaca filsafat-filsafat Aristoteles lalu mentraformasikannya secara kreatif kedalam khazanah pemikiran Islam. Rifa'at Tahtawi yang menjadi delegasi untuk mempelajari kebudayaan eropa atas perintah Syekh Hasan Attar rahimahumulloh. Dan masih banyak tokoh yang lain seperi Toha Husen, Zaki Nagib Mahfudz, Salamah Musa dll. 

Memang benar, dalam praktiknya ketika mereka membaca dan berusaha mengadopsi pemikiran-pemikiran barat, apa yang mereka hasilkan tidak luput dari pro-kontra yang ada. Tapi dalam pergolakan sejarah, serta upaya menhidupkan dialog antar kebudayaan dan peradaban, itu tak masalah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?