Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2019

Sebuah Pembacaan Maqashid 2

Dalam bukunya tersebut, Dr.Hisyam membagi pendapat para ulama yang berhubungan dengan pro-kontra ta'lil ke dalam tiga golongan.  Pertama yaitu pendapat Muktazilah yang mengatakan bahwa ahkamulloh mempunyai alasan. Mereka berkata: " Sesungguhnya tidak patut (qabih) bagi Alloh Swt untuk melakukan hal-hal yang tidak patut atau suatu kesia-siaan ('abats), melainkan apa yang Dia lakukan harus mengandung kemaslahatan dan tujuan." Kedua adalah pendapat Asya'iroh, Dzahiriyah, Jahmiyah dan selainnya yang menolak paham ta'lil. Mereka berkata: "Sesungguhnya  af'alulloh dan ahkamulloh tidak bisa dita'lil. Berarti amr-Nya tidak mempunyai illah dan hikmah." Ketiga adalah pendapat kebanyakan fukaha dari ahlus sunnah yang mengatakan bahwa af'alulloh dan ahkamulloh tidak dita'lil secara wajib. Melainkan lebih mengarah kepada melimpahkan anugerah dan kebaikan. Pendapat inilah yang konon diikuti oleh kebanyakan asy'ariyah." Dari pembagian diata

Membaca Maqoshid Dari Perspektif Teologis

Diskusi ilmiah yang digelar oleh Komunitas Kajian SASC Nu Mesir tadi membawakan tema yang menarik, yaitu tentang "Polemik Konfigurusi Maqashid Syariah".  Bagi saya pribadi, maqashid syariah sangat menarik untuk dikaji. Diantara penyebebnya adalah karena saya yang selama ini tertarik dalam kajian-kajian filsafat, merasakan ada relasi yang kuat antara Etika dan Maqashid Syariah.  Yang menjadi titik tekan adalah sebatas mana baik-buruk, kemaslahatan dan kemudaratan itu dimengerti dan diterapkan nilai-nilai esensialnya. Ketika filsafat etika menyuarakan nilai baik-buruk hanya murni bertolak dari perspektif akal budi, dan terkesan menjauhkan diri dari otoritas agama, senagaimana ia berasal dari Yunani. Tapi berbeda dengan maqashid syariah yang berfungsi menjabarkan "maslahat-mafsadah" yang dikelola melalui dua sisi secara bersamaan: agama (syariat) dan akal budi. Sebagai anggota kajian, saya berusaha ikut rembug atau sharing ide agar pembahasan ilmiah tersebut semakin hi

Pegon dan Jawanisasi

Dalam sebuah obrolan, teman saya yang mempunyai basic pesantren modern bertanya kepada saya: mengapa pondok salaf memegang erat tradisi "maknani", alias mengajarkan kitab-kitab kuning dengan bahasa arab pegon, bukankah hal semacam itu bisa diartikan dengan praktik "jawanisasi"?  Sebagai "santri salaf" sebenarnya saya agak kesal dengan pertanyaan semacam itu. Tapi di satu sisi saya santai karena memaklumi bahwa teman saya "sepercangkruan" itu memang cerdas. Sebab kecerdasan itulah akhirnya ia tak bisa memilih jalan lain selain kritis, dan selalu ingin menggali dan mempersoalkan segala hal. Kadang saya jengkel dan sebel untuk meladeni pikiran liarnya, yang kalau tidak di stop bisa jadi dalam sehari penuh saya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan kepada saya. Tapi sebagai sahabat, saya pun senang dan merasa bangga. Satu hal yang sering saya tekankan kepada dia, sebagaimana pesan para senior kepada saya, bahwa orang tidak cukup hany

Kita, Realitas dan Batas Kebenaran

Tadi malam, baru beberapa menit saya tiba di rumah setelah berjam-jam belanja dan ngafe, tiba-tiba teman saya menghubungi saya untuk menemui dirinya di sebuah kafe. Saya sebenarnya agak lelah, tapi berhubung dia mau pulang ke Indo, saya pun berusaha memenuhi panggilannya itu. Kita pun ngopi bareng, nyisah, dan ngobrol ngalur ngidul gak jelas. Tapi diselang-selang obrolan yang gak terstruktur itu, ada beberapa poin yang tak lepas dari pembahasan kami. Di antaranya pertanyaan dia kepada saya bagaimana pandangan subjektif saya mengenai filaafat, ilmu kalam, dan teori-teori yang melangit kita pelajari selama ini. Bukannya di masyarakat yang lebih dibutuhkan adalah "para penceramah" atau kyai yang berbicara fikih, hadis, dan tafsir? Lalu buat apa kita belajar filsafat atau teori-teori yang rumit-rumit itu?  Saya sepontan menjawab, memang benar kalau relasi atau relevansi antara teori-teori dan realitas selalu menyita perhatian kita untuk dibahas. Tema semacam ini tak henti-henti k

INGINKU

Di sebuah kafe Aku ingin melakukan apa saja  di sana: melupakan seluruh ingatan  yang justru membuat aku lupa mengapa aku sedemikian pongah Di sebuah kafe seperti engkau kan, Yah Kau tak ingin kita berbicara pedihnya dunia Kau lebih senang memikirkannya sendirian duduk diatas segenap keyakinan esok masih ada sinar matahari akan dilukiskan hujan, pelangi, dan janji-janji.

Berguru Kepada Ahmad Tohari

Setiap waktu yang kita miliki adalah anugerah. Yang berlalu tak bisa diulangi. Sedangkan yang akan datang pun tak kunjung pasti. Maka yang pantas untuk diperjuangkan dan diisi dengan hal-hal yang positif, bermanfaat dan membangun adalah masa kini. Tapi yang menyebalkan adalah bahwa kita (atau aku saja) tak senantiasa sadar akan waktu-waktu yang dimiliki. Membiarkan semua berlalu tanpa ada jejak-jejak yang bernilai.  Kerjaanku kalau sedang gak produktif ya ngelihat orang-orang yang sukses. Seperti Ahmad Tohari misalnya. Secara kasat mata, beliau itu sederhana. Perawakannya tegap, modelnya gak aneh-aneh, simpel, tapi sangat bersahaja. Quote beliau yang paling saya sukai adalah:  "Dalam hidup ini banyak sekali hal yang perlu kita persaksikan dan kita catat sebagai kekayaan batin dan kekayaan intelektual generasi-generasi mendatang." Jadi dari Ahmad Tohari, kita bisa belajar bahwa setiap kita, khusunya generasi muda mempunyai tugas dan andil yang sangat besar dalam eksistensi sej

SIBUK MENCARI TAPI LUPA APA YANG DIMILIKI

Ceritanya sedang nyari buku puisi Abdul Wahab Masiri. Berselancar di internet, sudah ketemu pdf, pas didownload gak bisa2. Ternyata senggang beberapa waktu, aku sadar kalau justru aku sudah punya buku aslinya cetakan darus syuruq. 😅 Terus kejadian (pekok) itu saya ceritkan ke saudara AAN Rab'ah. Dia ketawa.  Tapi dia punya cerita sendiri. Katanya kejadian tersebut mirip dalam sebuah cerpen.  Ceritanya ada orang kaya raya yang hobinya membeli rumah baru. Terus di suatu perjalanan dia menjumpai sebuah rumah yang mewah. Orang tersebut akhirnya tertarik dan berniat untuk membeli rumah itu. Lalu dia bilang ke asistennya agar si asisten membeli rumah itu. Setelah mencari tahu siapa pemilik rumah tersebut, si asisten pun menghadap ke si bos. Dia memberi tahu kalau ternyata si Pemilik Rumah Adalah si Bos sendiri. ~cerita selesai. Cerita ini sengaja ditulis sebagai siasat mengadakan kegiatan kecil-kecilan sambil menunggu nasi yang "diliwet" matang. * Judul dari Sdr. Aan Rab'a

Jejak Raga

Satu sukma Seluas lautan raga tiga muara di dada Muara nafsu angkara hidup binatang jelata Muara panas amarah dunia tetes neraka Muara akal bijaksana Langit-langit biru sorga.

Derrida 2

Ada sebuah kisah yang sangat menarik berkenaan dengan metode Tafkik Derrida. Metode ini bekerja untuk menguraikan teks dengan membagi suatu kata kepada bagian-bagian terkecil. Kisah tersebut ialah ketika salah seoarang teman saya mengadu kepada Syekh Ibrahim Khuli perihal kegelisahannya tentang keabsahan metode tersebut. Dia berkata kepada Syekh: " Bagaimana pendapat anda mengenai metode  ya maulana? "  Dengan sangat tegas Syekh menjawab: " Hadza manhajun baatilun fasidun", berarti metode tersebut adalah metode yang tidak benar dan membahayakan. Dengan metode tafkiknya, Derrida seolah menutup rapat-rapat  ketakmungkinan sebuah kata untuk dibagi, dimaknai dan ditafsirkan ulang. Tidak ada atom dalam sebuah teks. Selalu ada cela untuk mengguncan pohon-pohon teks, agar tumbang, lalu tumbuh lagi pohon-pohon teks yang sama sekali baru. Mungkin seperti itulah kita memahami dekonstruksi Derrida. Tapi yang membuat metode ini fatal adalah penolakan Derrida terhadap kemapanan

Sebatas Catatan Kecil Untuk Merayakan Dekonstruksi Derrida

Tema kajian kali ini sangat menarik. Si pemakalah menulis tentang rasionalitas kepenulisan sejarah (Islam). Dalam studi kasusnya, penulis mengambil kejadian Perang Jamal sebagai sampel kajiannya. Sebenarnya saya mengakui kekurangan bacaan saya dalam term-term yang berkaitan dengan objek  kesejarahan.  Tapi ada yang menarik dalam tulisan teman saya tersebut ketika membahas metode yang ia pakai dalam pembacaan sejarah. Selain menyebutkan pendapat-pendapat yang dinisbatkan kepada Ibnu  Khaldun, dia juga menyinggung sebuah metode yang ia sebut dengan metode analisis strukturalis-dekonstruktif. Pada poin inilah saya tertarik untuk mencari sumber lebih dalam dengan harapan agar bisa meramaikan diskusi dalam kajian siang nanti. Diantara beberapa hal yang membuat saya janggal adalah ketika teman saya menggabungkan paham strukturalisme dengan paham dekonstruksi. Dalam berbagai rujukan, saya tidak menemukan adanya pembenaran akan hal itu. Justru sebaliknya, dengan paham dekonstruksinya, Derrida

Teoretis

Akhir-akhir ini saya sering memikirkan relasi antara gagasan teoritis dengan realitas. Yang menyebabkan kenapa saya berpikir seperti itu bisa dari buku, doktrin, atau yang lain. Tapi yang pasti tema semacam inj memang sering jadi bahan obrolan saya dan teman-teman di warung kopi.  Imbasnya, setiap kali berhadapan dengan "teks klasik", yang akan terpintas adalah apakah teks tersebut hanya sebatas bangunan teoritis masa lalu yang sama sekali terpisah dari realitas masa kini. Entah teks tersebut "perlu dibaca" lagi untuk saat ini karena memandang esensinya yang sudah final (al tsabit), atau memang sebagai sesuatu yang kita ibaratkan dengan benda-benda peninggalan sejarah, yang memang tak ada kaitannya lagi dalam bentuk "khoriji" (faktual), atau mau tidak mau kita dituntuk untuk membaca, memahami serta mengembangkan "teks-kuno" tersebut dengan memandang bahwa tugas zaman yang dilimpahkan kepada kita semua: para anak zaman. Walaupun dalam faktanya say

SOESILO ANANTA TOER

Hidup sebagai seorang pemulung dengan ijazah doktor, itulah hidup yang dipilih oleh Soesilo Ananta Toer, itulah kehidupan yang paling menakutkan bagi kita semua. Soesilo adalah adik dari seorang sastrawan legendaris Indonesia: Pramoedya Ananta Toer. Soesilo sendiri yang mengatakan bahwa dirinya dengan Pram adalah watak yang berlawanan. Bagi Soesilo, Pram adalah guru. Tapi Pram tetaplah musuhnya. Sebab itu jika Pram adalah simbol dari optimisme, maka diriya seolah simbol dari pesimisme. Tapi bagi saya, kedua-duanya adalah "buku besar" dalam catatan makna kehidupan. Kenapa Soesilo mau jadi pemulung? Sebelum kita benar-benar ingin tahu alasannya, semua orang memang ingin mempertanyakan itu. Tidak peduli seberapa sering itu dipertanyakan, lalu dijawab sendiri oleh Soesilo, semua orang, sampai kapanpun (menurut saya), akan terus mempertanyakannya: "mengapa ia rela menjadi pemulung? " Bagi pandangan yang pragmatis, khususnya orang-orang yang menganut "budaya empiris&

Bertarekat Yang Sebenarnya

Pada hari sabtu kemarin saya mengikuti pengajian Syarh Mawaqif yang diampu oleh Syekh Hasan Syafii. Seperti biasanya, seusai pengajian Syekh tidak langsung beranjak pulang. Beliau tetap berada di kursi, sambil dikelilingi murid-murid beliau yang meminta salaman, doa, dan konsultasi berbagai persoalan yang berkaitan dengan ilmu kalam.  Tapi kemarin ada yang sangat berkesan bagi saya pribadi, yaitu ketika beliau tak kunjung pulang karena saking lamanya orang-orang meminta penjelasan dan berdikusi dengan beliau. Padahal pengajian waktu itu menghabiskan waktu sekitar dua jaman, dan menurut saya itu cukup menguras tenaga Syekh. Hal semacam itu wajar, apalagi bagi orang yang sudah berumur hampir sembilan puluhan.  Kembali ke cerita awal. Ketika beliau hendak pulang, tetiba saya melihat ada Syekh Fathi Hijazi sudah didalam ruwaq (tempat mengaji di area masjid Azhar) sedang solat. Dan saya lihat Syekh Hasan tak langsung menngalkan ruangan, beliau berdiri sambil menunggu Syekh Fathi yang sedang

Yang Sebatas Cemas

Pada sebuah malam  ada cemas yang berjalan dengan gegas Saat kutatap perempuan setia  yang rela aku sebut sahabat Sampailah aku pada ketakutan: relakah sang waktu jika suatu saat nanti ia didekap kehilangan? Atau biar aku menjadi pohon beringin yang diam membisu di halaman rumah melihat kau bahagia begitu saja mengukir kata-kata selain kita Entahlah, yang ingin kulakukan kini menunggu kecemasan ini berhenti.

GOETHE

Pertama kali mendengar nama Goethe disebut yaitu sekitar empat atau lima tahun yang lalu, tepatnya ketika saya masih mondok di Ponpes Maunah Sari Bandar Kidul Kediri. Saat itu saya tak begitu tertarik  dengan  penjelasan teman saya terhadap puisi dan pemikiran Goethe. Tapi sekarang, akhirnya saya bertemu lagi dengan sosok sang filsuf sekaligus penyair  tersebut melalui tulisan Abdurrahman Badawi. Bab pertama dalam kajian Abdurraman Badawi atas pemikiran Goethe adalah tentang hubungan Sang Penyair dengan Timur.   Seperti yang diterangkan A. Badawi, Goethe merupakan seorang sastrawan terbesar aliran Romantisisme.        Aliran ini  mempunyai kecenderungan yang kuat atas apa yang oleh A. Badawi disebut sebagai     al ightirob al ruhi   (pemgembaraan  rohani). Yang ia maksud dengan pengembaraan rohani disini adalah upaya pelarian diri dari ruang  kehidupan ( apa saja yang berkaitan dengan hidup seseorang yang  telah dijalani sebelumnya) menuju suatu ruang (alam) yang sama sekali baru.   Me

Kebebasan

"Kebebasan di dunia itu sedikit. Makna kebebasan yang hakiki adalah menyembah Allah Swt dengan sebenar-benarnya, lalu engkau akan terbebas dari apapun selain-Nya." Kurang lebih seperti itulah salah satu pelajaran yang saya pahami dari pengajian Syekh Muhanna kemarin.  Dari penjelasan tersebut, kita bisa mengambil pemahaman bahwa kebebasan tidak selalu diartikan dengan ketiadaan hukum dan aturan, atau sederhananya "aku yang bebas sepenuhnya, dan akan  bertindak benar seutuhnya". Bahkan apapun selain-Nya adalah belenggu, termasuk diri(nafsu) kita sendiri.  Manusia itu unik. Dia punya kecenderungan ingin bebas dan berbuat sesukannya. Tapi kebebasan yang ia senangi tersebut tak menjamin keselamatan dan kedamaian dirinya sendiri. Contohnya sederhana, kita seringkali menyesal, malu, atau bahkan kecewa dan marah dengan apa yang telah kita perbuat sendiri. Saya rasa semua orang pernah merasakan hal itu-- meskipun tak harus dengan kasus atau dalam waktu yang sama. Merasa ber