Teoretis

Akhir-akhir ini saya sering memikirkan relasi antara gagasan teoritis dengan realitas. Yang menyebabkan kenapa saya berpikir seperti itu bisa dari buku, doktrin, atau yang lain. Tapi yang pasti tema semacam inj memang sering jadi bahan obrolan saya dan teman-teman di warung kopi. 

Imbasnya, setiap kali berhadapan dengan "teks klasik", yang akan terpintas adalah apakah teks tersebut hanya sebatas bangunan teoritis masa lalu yang sama sekali terpisah dari realitas masa kini. Entah teks tersebut "perlu dibaca" lagi untuk saat ini karena memandang esensinya yang sudah final (al tsabit), atau memang sebagai sesuatu yang kita ibaratkan dengan benda-benda peninggalan sejarah, yang memang tak ada kaitannya lagi dalam bentuk "khoriji" (faktual), atau mau tidak mau kita dituntuk untuk membaca, memahami serta mengembangkan "teks-kuno" tersebut dengan memandang bahwa tugas zaman yang dilimpahkan kepada kita semua: para anak zaman.

Walaupun dalam faktanya saya belum bisa menemukan rumusan ideal mengenai hal itu, tapi setidaknya saya selalu berusaha mengambil prinsip bahwa meninggalkan "teks-kuno" dengan dalih keberadaannya yang hanya teori, yang bisu dan tak bernilai apa-apa karena tidak berkaitan dengan realitas adalah pendapat yang salah. 

Prinsip yang saya ambil tersebut, semakin membuat saya yakin setelah membaca tulisannya Abbas 'Aqqad yang berjudul "ANA": semacam tulisan autobiografi yang sarat dengan gaya dan metode berpikir dan kepenulisan Aqqad.

Dalam sebuah tema yang bertajuk " al kutub al mufaddlolah 'indi", 'Aqqad menegaskan betapa antara buku dan kehidupan terdapat hubungan yang sangat erat. Menariknya, sebelum berbicara tentang buku, mula-mula ia membahas "apa sebenarnya rahasia dari kehidupan? ".

Aqqad meyakini bahwa hidup itu lebih umum daripada alam semesta ini. Katanya: "Apa yang secara kasat terlihat tak bernyawa atau seolah terpisah dari (ruh)  kehidupan ini dalam pandanganku ialah tak lebih dari sekedar cara untuk menampakkan kehidupan itu sendiri. Meskipun dalam macam warna atau potensi yang berbeda-beda... Kehidupan adalah sesuatu yang "langgeng", yang abadi dan azali....Tak berawal sekaligus tak berakhir."

Ia melanjutkan: "Jikalau engkau telah mengetahui "sirr" (rahasia) Alloh maka engkau akan mengetahui rahasia kehidupan ini". Dan saya sangat tertarik dengan bagian frase ini. 

Jadi hidup yang dikehendaki Aqqad bukanlah apa yang selama ini kita pahami secara harfiah nan fisik, tapi justru lebih dekat ke ranah metafisik: "dia" yang berada dibalik hidup itu sendiri.

Tapi sesuatu yang metafisik itu lagi-lagi berkait-erat dan benar-benar mempengaruhi hidup yang fisik sehingga menjadikannya seperti lautan yang sangat luas dan tak bertepi. 

Lalu sesuatu apakah yang bisa mengantarkan kita kepada "tujuan akhir" dalam mengarungi lautan hidup yang tak bertepi itu? Dari sinilah Aqqad mulai berbicara teori. Dalam konteks yang sederhana, teori bisa diartikan pula dengan buku. 

Jadi buku menurut Abbas Aqqad tidak hanya berfungsi untuk memahami hidup, tapi juga untuk segala hal yang  merepresentasikan "rahasia" tentang Allah 'azza wa jalla. 

Pada akhirnya tulisan ini kembali kepada kegelisahan saya yang awal: haruskah sebuah teori tetap dijunjung tinggi meskipun ia tak bersinggungan lagi dengan realitas? 

Saya masih belum mampu menyelesaikan persoalan itu dengan pasti. Tapi tidak salah kalau mengikuti pandangan Abbas Aqqad perihal buku. Bagi Aqqad, sampai kapanpun, buku tetaplah bernilai. Karena sejatinya "buku tidak bisa dilepaskan dari eksperimen-eksperimen kehidupan, pun eksperimen tak bakal ada jika tidak ada buku."

Kalau setiap orang mampu melakukan eksperimennya selama berpuluh-puluh tahun, tetapi buku (teori) ditulis melaui uji coba selama ribuan tahun. Maka tidak ada alasan lagi untuk mencurigai buku sebagai kumpulan teori yang bisu dan lumpuh dihadapan realitas, karena dalam sejarahnya buku selalu berusaha untuk merangkum kumpulan-kumpulan realitas; karena mustahil jika terdapat bahasa yang berangkat dari kekosongan, dilihat dari makna apapun, bisa jadi buku adalah bias dari realitas itu sendiri.











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?