Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2020

Riyadloh

"Orang yang mempunyai ilmu dengan diriyadlohi dan tidak diriyadlohi itu hasilnya beda. Riyadloh yang paling utama adalah istiqomah." Dawuh Mbah Yai Mahrus Ali. Makanya dulu pas mondok di kediri, saya melihat para santri-santri senior banyak yang riadloh. Seperti puasa "nahun", puasa "ndalalil", dan ada juga yang puasa "ngerowot" dan model-model tirakat yang lain. Satu lagi yang masih dipertahankan dalam tradisi santri yaitu tradisi tidak pulang. Seingat saya, dulu ketika ada santri yang datang, untuk tahap awal mereka gak boleh pulang sampai minimal tiga tahun dulu. Di antara yang menekankan itu adalah Si Mbah Kyai Ahmad Mahin Toha (setahu saya seperti itu karena saya dulu nyantrinya di pondok Darussallam). Jadi santri boleh pulang minimal pas tamat ibtida'. Ada juga cerita, saat itu santri yang nahun sampai khatam amriti (berarti tiga tahun tidak pulang), pas ijazahan sama Mbah Yai Idris Marzuqi allohu yarham ditantang, " sinten sing pu

Sejarah: Capaian ataukah Beban?

Mungkinkah yang dicapai guru-guru kita, orang tua, atau para leluhur kita akan begitu saja terwariskan kepada kita. Dengan proses "hulul", manunggal atau melalui proses peleburan misalnya. Secara kategori hukum aqli, itu mungkin. Tapi secara ontologis, tidak. Karena itu semua 'arodl', dan 'arodl la yabqho zamanain'.  Menurut Al Baqillani, definisi 'arodl adalah "ma la yasihuu  baqouhu". Yakni sesuatu yang tak bakal/boleh langgeng. Oleh karena itu, dalam Al Quran dunia digabungkan dengan kata 'arodl, karena keberadaannya yang sementara.  تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ [Al Anfal:67]  Selanjutnya, Al Baqilani menjelaskan setiap warna, aroma, karangan, hidup, mati, pengetahuan, kebodohan, kekuatan, kelemahan dll itu semua termasuk bagian dari 'arodl. Paham seperti ini tak lagi murni teologis.Tapi bisa ditarik juga ke ranah sosio-historis. Semisal, pernyataan "bangsa kita adalah bangsa yang unggul karena dulu

Delusi

Menurut info yang saya dapat dari warga twitter, lokasi kejadian poto-poto ini adalah di Jogja. Entah di daerah mana, tepatnya saya kurang tahu. Tapi bukan itu yang terpenting. Menurut saya yang paling urgen untuk dicatat dan dimengerti adalah mengapa peristiwa semacam itu bisa terjadi. Ada beberapa poin yang bisa dicatat di sini:  - Ada sekelompok orang yang mengatasnamakan diri mereka sebagai "umat Islam", dan merasa "ditindas" dan dirugikan. Setelah itu, apa tuntutan mereka? Hendaknya khilafah ditegakkan!  - Mereka menuntut agar dikembalikannya kemulian Islam. Caranya bagaimana? Dengan menempuh jalan persatuan umat sedunia. - Ketidaknyamanan mereka dengan Nasionalisme. Paham itu bagi mereka tak lebih dari sekedar pemecah belah umat. Sebab nasionalismelah persatuan tidak bisa terwujudkan, maka tidak ada jalan lain selain melawan paham tersebut.  Kalau boleh saya sederhanakan, terdapat sebuah postulat mendasar yang menjadi pijakan utama, dan di situlah letak kesala

Arus Kata

Kata itu mungkin terbaring menemani malam yang karib terasing Kini ia semakin cemas terpinggirkan di seberang jalan sempit ketakberdayaan yang tuntas Apa yang seketika terlintas Saat melihat gelandangan berbaris Di kota penuh buku dan ilmu-ilmu ketaksanggupan tanpa ragu: itulah kehidupan itulah keterasingan. Haruskah kita salalu sembunyi di balik, "bukan aku" "bukun urusanku". Masih pantaskah ini disebut kata-kata,  apalagi kalimat,  apalagi suara dan nada masih akukah aku masih layakkah semua ini!   Apa yang masih mungkin dikerjakan oleh seorang pemuda yang ternyata lupa mengapa, dari mana dan kemana hendak pergi bias-bias itu Kita adalah bias pun bahasa dan kuasa Saat ada sorak-sorak dalam pesta mungkin itu air mata sedang mancari gelas untuk sekedar tumpah kesedihan yang merindukan pulang, dari hilang;  kembali, ke yang suci.

Curhat Kepada Ustadz

Si ustadz yang histeris tolong tuan belajar menulis puisi, secangkir kopi dan gincu yang agak humoris Kami ini  tak bermaksud lari karena kami tahu tuan tidak buas Hanya saja nyali kami  tak cukup luas tuk menyimak mulut tuan yang lepas Kami sekedar umat kecil wajar kalau takut  dan belum kuat sama ustadz yang besar Layali, 2.3.2020