Delusi

Menurut info yang saya dapat dari warga twitter, lokasi kejadian poto-poto ini adalah di Jogja. Entah di daerah mana, tepatnya saya kurang tahu. Tapi bukan itu yang terpenting. Menurut saya yang paling urgen untuk dicatat dan dimengerti adalah mengapa peristiwa semacam itu bisa terjadi.

Ada beberapa poin yang bisa dicatat di sini: 

- Ada sekelompok orang yang mengatasnamakan diri mereka sebagai "umat Islam", dan merasa "ditindas" dan dirugikan. Setelah itu, apa tuntutan mereka? Hendaknya khilafah ditegakkan! 

- Mereka menuntut agar dikembalikannya kemulian Islam. Caranya bagaimana? Dengan menempuh jalan persatuan umat sedunia.

- Ketidaknyamanan mereka dengan Nasionalisme. Paham itu bagi mereka tak lebih dari sekedar pemecah belah umat. Sebab nasionalismelah persatuan tidak bisa terwujudkan, maka tidak ada jalan lain selain melawan paham tersebut. 

Kalau boleh saya sederhanakan, terdapat sebuah postulat mendasar yang menjadi pijakan utama, dan di situlah letak kesalahannya, yang pada akhirnya melahirkan paham-paham di atas. Yaitu " hanya kamilah yang berhak disebut sebagai umat Islam", sehingga memberi konsekuensi logis: "selainnya tidak!". Maka pantas ketika mereka (yang sebatas minoritas itu) merasa tertindas, tidak bisa bersatu, dan juga kehilangan apa yang mereka harapkan (khilafah, hukum Islam, dll) maka semua umat Islam harus ikut  menanggunggnya. 

Itu jelas kesewenang-wenangan ontologis. Egoisme: lelucon yang berlebihan. Tapi dari kajadian semacam ini, setidaknya kita bisa mendapat pelajaran berharga: dalam urusan agama, subjektifitas harus tunduk pada batas-batas, selebihnya kita harus berguru pada objektifitas. Artinya, agama sendirilah yang berhak menjelas siapa sebenarnya dirinya. Dalam hal ini, teori dialektika Al Quran yang ditulis Abdul Majid Saghir terlihat cukup mengagumkan. Kita butuh berdialog untuk mengobservasi makna-makna, untuk kemudian diselesaikan dan dipagari melalui istilah-istilah yang final. Dan itulah salah satu karakter gaya bahasa (al aslub al qur'ani) Al Quran. Bagaimana Al Quran dengan tegas menolak paham-paham yang disuarakan oleh kafir Yahudi dan kaum musyrikin yang berkaitan seputar teologi, ritual-ritual, perihal surga-neraka dll pada masa awal kehadirannya, lalu mengakhirinya dengan istilah-istilah dan bahasa Al Quran sendiri.

Harus diakui, mereka bagian dari umat Islam. Tapi apa yang mereka perbuat itu cukup memalukan. Bagaimana mungkin Nasionalisme yang dalam sejarahnya tidak bisa dipisahkan dengan sejarah umat Islam Indonesia itu sendiri, sudah berapa banyak darah umat yang telah dikorbankan dalam menjaga keutuhan bangsa ini, lalu tiba-tiba seperti mimpi di siang bolong ada segerombolan orang yang berlebihan ngaku paling umat berteriak lantang: "kami menolak nasionalisme". 

Sebua fakta yang menyebalkan. Semacam delusi, sama saja dengan pembelaan kontradiktif, "kami menolak entitas kami sendiri!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?