Pesan Kritis Dari Imam Syafii Kepada Pencari Ilmu

Pesan Kritis Kepada Pencari Ilmu Dari Imam Syafii

Tidak ada rasa puas dan kenyang bagi seorang pecinta ilmu pengetahuan. Hari-harinya selalu dipenuhi dahaga untuk terus mencari, belajar, dan membaca. 

Tapi perihal mencari pengetahuan bukan urusan sederhana. Begini misalnya: orang mencintai ilmu itu sudah benar, tapi tentang bagaimana seseorang mencari ilmu itu soal lain, artinya mengenai cara mendapatkan ilmu itu sendiri tidak semuanya benar.  Maka dari sinilah muncul statemen: " belajarlah pada guru yang tepat! ",  " ilmu harus ada sanadnya".  

Dan dari latar belakang semacam ini muncullah teks seperti " ta'lim muta'allim", sebuah karya masterpiece Syekh Az Zarnuji. Di dunia pesantren teks ini merupakan kitab wajib, semacam pedoman mencari ilmu bagi santri.  Dan saya bersyukur sudah berkesempatan ngaji ke Mbah Yai Anwar Mansur hafdzohulloh ketika di Lirboyo dulu. 

Hal tersebut sama halnya dengan soal beragama. Orang mencintai agamanya itu benar, tapi bagaimana cara dia mengekspresikan kecintaannya terhadap agama belum tentu benar. Kita lihat betapa para ekstrimis misalnya, merka sampai bertindak teror dan rela meledakkan dirinya sebagai bentuk ekspresi kecintaannya pada kebenaran, pada agama, pada islam. Alih-alih melakukan sesuatu hal yang benar, bahkan atas tindakannya tersebut orang "beragama"  tadi justru mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Bahkan dari agama itu sendiri.

Artinya apa? Semua hal butuh prinsip dan jalan yang benar. Begitupun dalam hal mencari ilmu.

Diriwayatkan dari Imam Robi' bahwa beliau berkata:  Aku mendengar Imam Syafii ketika ia sedang menjelaskan perihal seseorang yang mencari ilmu dengan cara sembrono. Dia berkata:

" Orang seperti ini bagaikan seorang pencari kayu yang sedang mencari kayu, tiba-tiba ia memotong-motongnya lalu mengikat dan membawanya begitu saja. Barangkali dalam ikatan tersebut ada seekor ular, dan si ular akan menyengatnya tanpa sepengetahuannya. "

Imam Robi' menafisrkan ucapan gurunya bahwa yang dimaksud Imam Syafii tentang pencari ilmu yang sembrono tadi adalah mereka yang tidak menanyakan dari sebuah hujjah/argumentasi itu berasal? Ia hanya mencatat ilmu begitu saja tanpa didasari pemhaman yang tepat, sehingga ia akan mendapatkannya dari orang yang sangat pembohong atau dari yang sangat bisa dipercaya keilmuannya, bisa juga dari ahli bid'ah atau yang lainnya. Maka sangat mungkin terjadi kalau ilmu yang didapatakan itu berasala dari pendusta dan ahli bid'ah yang batil sehingga mengurangi keimanannya tanpa ia sadari. ( dalam "hilyatul auliya" jilid 9 maqolah nomor 13379)

Dalam hemat saya, apa yang dikatakan oleh Imam Syafii dan selanjutnya ditafsirkan oleh Imam Robi' di atas merupakan wasiat berisi spirit kritis seorang talibul ilmi, bahasa kenikiannya adalah seorang "akademisi". 

Bagi seorang akademisi taklid buta merupakan tindakan yang aib. Ia tidak boleh tiba-tiba menerima data begitu saja, apalagi dalam suasana masa kini yang mana setiap orang akan dengan mudah mendapat dataenyangkut apa saja sesuai yang dikehendaki. Cukup duduk di teras sambil ngopi, dan yang yang relatif terjangkau: kuota internet. 

Tapi ingat, dengan segenap kemudahan fasilitas yang ada,tak jarang hal itu justru membuat kita semakin "ngambang" dihadapan maklumat-maklumat yang kian rumit dicari batas identitas (kebenaran) yang benar-benar pasti. Artinya antara "sang benar" dan "sang pendusta" nyaris kehilangan sekat. Dari situlah "ular dalam tumpukan kayu" As Syafii tadi akan semakian kabur dalam pengawasan kita. 

Dari sekian banyak informasi tersebut-- yang seoalah semua datang menhampiri kita dengan wajah yang sama, yakni sebagai "pengetahuan" -- manakah yang harus kita pilih? Apalagi dalam pertarungan ideologis yang telah mengakar dan mengglobal, siapakah yang benar dan musti kita ikuti? Mungkin dari realita semcam ini, kita, sebagai tolabul ilmi, atau siapaun itu yang melibatkan diri dalam kebijaksanaan dan pengetahuan, perlu untuk terus megasah pisau kritis masing-masing. Yang dalam istilahnya Imam Robi diawali dengan pertanyaan " an al hujjah min aina?", "apakah landasannya?" "mana dalil argumentatifnya?!"

Satu hal lagi yang perlu kita catat dari penjelasan Imam Rabi di atas adalah bahwasannya pengetahuan berpengaruh pada kualiatas keimanan. Pengetahuan yang salah, yang berasal "dari pendusta yang batil dan ahli bidah" ternyata tidak tidak bisa disikapi seremeh " hanya sekedar data" begitu saja. Bukankah data, dalam bentuk apapun itu, ketika sampai kepada manusia, lalu masuk masuk ke dalam kepala-- dan itu terjadi secara spontan, karena begitulah kira-kira mekanisme pemikiran bekerja--untuk diolah dan di masak pada sebuah pabrik pemikiran manusia. Di pabrik itulah kita senantiasa terlibat dalam pro-kontra kebersikapan, entah itu sesuai kesadaran ataupun tidak.

Di situlah poinnya. Ketika data-data tersebut mampu menarik kita pada pengertian tertentu, yang mana ketika bertemu sekaligus bersinggungan dengan keimanan, maka dampaknya ada dua kemungkinan. Apakah itu sejalan dengan prinsip keimanan atau malah sebaliknya, yang dalam perkataan Imam Rabi, data-data tersebut mampu " mengurangi keimanannya tanpa ia sadari".





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?