Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Gus Dur

Kau mengabdikan seluruh hidupmu Waktu mengabadikan seluruh cintamu

B

Cinta tak mengenal zaman dia seperti ruh terus menumbuhkan benih-benih kehidupan ia bahasa abadi. 29 des 2019

a

Betapa menyebalkan hidup yang gelap terkepung ketidaksadaran yang meluap Dimanakah nilai keindahan hidup jika dipenuhi cahaya-cahaya yang redup 29 des 2019

M.Syahrur

Di Abu Dhabi, dalam keadaan dunia yang masih penuh ketidakadilan, beban-beban kemanusiaan yang menumpuk, dan nasib sejarah yang entah hendak dibawa kemana, pemikir Suriah itu menghembuskan nafas terakhirnya. Tepat dalam usianya yang ketuju puluh tuju.  Baru beberapa bulan yang lalu nama beliau ramai dibicarakan di Indonesia. Muhammad Syahrur tiba-tiba dikenal melalui disertasi kontroversial yang ditulis Dr. Abdul Aziz, yang mengupas tentang pemikiran-pemikiran beliau.  Terlepas dari kontroversi yang ada, beliau adalah pemikir besar, yang gigih mengkaji Al Quran melalui kacamata kontemporer. Dia tidak menerima begitu saja konstruksi yang sudah "mapan" yang diwariskan oleh ulama terdahulu. Seolah-olah mengajak kita, para pengkaji Islam masa kini, untuk menghirup "udara segar" dengan memberikan pertanyaan-pertanyaam kritis: " dimanakah kredibilitas risalah ini setelah empat belas abad berlalu? padahal setiap kali membaca kitab yang diturunkan ini, kita senantiasa

Cukup Berilmu, atau Harus "Ngustadz"

Tak seperti biasanya. Saya lebih sering menghabiskan waktu-waktu saya di warung kopi ketika malam hari. Kadang sampai tengah malam, kadang juga begadang, hingga menjelang subuh baru pulang. Tapi hari ini masih pagi-pagi sekali sudah beraktifitas dan ngopi. Seorang karyawan yang bekerja di kafe datang. Sedikit berbasa-basi dan menanyakan apa pesanan saya. Setelah memesan, dia pun melanjutkan pekerjaannya. Karena masih pagi sekali, dia pun bersih-bersih sambil mondar-mandir merapikan kursi. Saya dan teman saya tidak begitu peduli. Fokus saja dengan kerjaan masing-masing. Selang beberapa waktu, karyawan tadi datang. Berdiri mematung di samping kami. Lalu ngomomg, " itu apa? ", dia menanyakan buku yang tergeletak di samping kopi yang ada di meja kami. "Buku mantik", jawabku. Dia tersenyum sambil bilang, "sudah lama sekali aku gak baca itu".  "Serius kau dulu baca ini? ". "Iya beneran. Aku juga kuliah di Azhar jurusan syariah dan lulus tahun dua

Suatu Kewajaran

Di suatu kafe, ada seorang gadis kecil, bersepatu mungil, kerudung merah yang cantik dengan sebuah balon di tangan kirinya, datang menghampiriku yang sedari tadi duduk sendirian. Aku tahu maksudnya-- dan kalian yang ngafe di beberapa tempat di kawasan Kairo pun pasti tahu apa maksudnya. Kadang anak kecil, ibu-ibu, atau seorang tua renta. Setahuku, kebanyakan mereka adalah dari kalangan perempuan.  Mereka tidak menuntut banyak. Cukup satu le (kurang lebih satu ribu rupiah) atau dua le saja dari pengunjung kafe, mereka sudah senang, dan segera beranjak pergi dari hadapan kalian.  Lalu anak kecil tadi, awalnya saya gak mau kasih. Dia terus memelas, sambil mengucapkan kata-kata yang menyedihkan. Saya tetap gak mau ngasih, dia pun pergi. Setelah beberapa langkah dia menjauh, saya pun memanggilnya kembali.  Ya, setiap kali mendapatkan moment seperti itu, saya harus berdamai dengan diri saya sendiri: menyelesaikan persoalan dilematis. Satu sisi, tidak senang dengan perbuatan yang ia lakukan:

Guru

Seorang murid memang dituntut mandiri. Guru sendiri yang menghendaki seperti itu. Seorang guru senantiasa mengharapkan agar si murid terus belajar, berkembang, dan bermanfaat, baik untuk diri sendiri atau yang lain. Tapi sepandai-pandainya murid, murid tetaplah murid. Pada kedalaman ruhaninya, selalu ada pengakuan, " tanpa sang guru, entahlah aku! ". Barangkali manusia dengan entitas alami yang ia miliki tak mampu sepenuhnya mengontrol apa saja yang berkaitan dengan dirinya sendiri: mulai dari segala yang ia tahu, hingga yang ia mau sekaligus. Manusia dianugerahi kemampuan atas segala "kemungkinan", dan di waktu yang sama-- sebagai ciri seorang makhluk-- dia pun cukup dekat dengan "ketaksanggupan". Sebab itu, manusia membutuhkan entitas/kuasa yang lain. Manusia butuh agama; ia butuh ajaran: ia butuh guru.

Praktik Tajdid Ala Toha Abdurrahman

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Hakim diceritakan bahwa suatu ketika Umu Salamah Ra bertanya kepada Rasululloh Saw: " wahai Rasululloh Saw, aku tidak mendengar sama sekali bahwa Alloh Swt menyebut sesuatu tentang perempuan dalam berhijrah."  Sebab pertanyaan tersebut, lalu diturunkanlah ayat:  " Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sebagai pahala dari Allah. Dan di sisi Allah ada pahala yang baik.” ( Surat Ali 'Imran: 195) Lalu dalam riwayat lain oleh Imam Hakim, Ummu Salamah

Nulis Aja

Apa yang paling membuatmu gelisah selain mata pisau waktu yang memaksamu berlari  dan terkejar  semua tentangmu terus berputar untuk apa dan mengapa  semua memudar, membisu menghilang ditimbun waktu dan kini orang-orang menjadi takut entah memang lupa  atau sedang sakit tiada lagi aksara-aksara perihal rasa dan keterikatan antara hidup dan cinta tapi aku tak mau duhai juwitaku benar kata ibu: "teruslah kau rawat, nak bunga-bunga kehidupan biarkan bayang-bayang  dan ketakutan menyerang tapi dengan sekantung doa  hatimu kan jadi samudera: sinar kedamaian yang terang".

Gak Usah Panas

Diantara hal penting yang dibutuhkan saat ini adalah kesadaran untuk berbeda. Setahu saya, sadar adalah kata yang berkonotasi "benar", "tegak", dan "indah". Rupanya, memang yang paling tepat untuk diterapkan saat ini, dalam suasana beragama yang gampang "panas", ya kesadaran itu sendiri.  Tapi sadar pun tak semudah seperti yang dibayangkan. Dia masih butuh akan sesuatu yang lain, yaitu rasa cinta, kedewasaan, dan kasih sayang.  Oke, contoh gampangnya seperti ini. Ada dua orang yang berbeda pandangan dalam menyikapi sebuah persoalan, dan ternyata dua orang tersebut teryata saling bermusuhan, apakah mungkin kita meminta keduanya untuk berdamai alias berkompromi satu sama lain? Ya sulit dong. Yang pasti, kalau dasarnya sudah seperti itu, endingnya tidak jauh dari ribut dan panas-panasan saja.  Maka berbeda jika hal tersebut terjadi diantara orang tua dan anak misalnya, atau antara seorang guru yang bijak dan murid yang nakal, karena sudah ada rasa m

KRISIS

Kelihatannya saya agak setuju dengan pernyataan Dr. Komarudin Hidayat yang disampaikan sekitar lima tahun yang lalu itu, bahwa umat Islam kini telah terpenjara dengan warisan intelektual yang begitu kaya.  Kalau kita amati, apa yang diucapkan beliau itu benar. Jadi sekarang kita itu sedang bingung, “kita sedang hidup di zaman apa? “ Karena saking kayanya warisan ilmu “masa lalu”, akhirnya yang dibaca dan diterima ya warisan tersebut, bahkan dianggap “hanya itu” yang benar.  Gak mau membaca isu-isu kekinian, wacana-wacana baru mengenai studi Islam baik dari “dalam” ataupun “luar”, bukan berarti karena ketiadaan akses maupun keterbatasan fasilitas, memang ada unsur kesengajaan untuk membatasi diri dari apapun yang dianggapnya “tidak”, atau “bukan”. Jadi yang kita jadikan objek kajian ya rumusan-rumusan masa lalu itu, meskipun terkadang rumusan-rumusan tersebut terikat pada  persoalan-perosoalan yang ada di masanya (artinya gak relevan lagi).  Merujuk kepada warisan pemikiran terdahulu it

Kutulis Atas KelahiranMu

Kau begitu dicintai  menyatu dalam kidung kata-kata purba sunyi nan alami Kau begitu dimengerti oleh para kekasih yang tak pandai berpuisi o semesta penuh dosa rayakanlah kepedihanmu menyambut Yang Terkasih Sambut, sambutlah walau kau tak banyak tahu selain debur samudera yang mengubur tetes-tetes rindu Memang kita layak takut dan malu tapi semakin malam membungkam atas cahayalah gulita menunggu

Sekedar Catatan Untuk Sebuah Proses

"Apa yang musti dilakukan oleh  seorang pengkaji atau pembaca?" Bagi saya, pertanyaan semacam ini bukanlah sederhana, sekaligus sangat prinsipil. Dan berbicara tentang prinsip itu bukan urusan mudah: selalu ada pertaruhan disana. Kemarin ada seorang senior datang dari Indo. Ke Cairo pastinya ada keperluan. Dengar-dengar sih sedang melakukan penelitian. Lalu kumpul bersama kami para junior, berbicara dan sharing banyak hal. Lebih tepatnya memberikan pengarahan melalui ceramah singkat. Gak terlalu formal, tapi cukup intens dan esklusif.  Diantara salah satu poin yang menurut saya "menarik" adalah  bagaimana pengalaman, atau "keadaan" yang dia rasakan dulu ketika di pesantren dan sesudah berangkat ke Cairo.  " Dulu setelah lulus pesantren, saya sangat mengangumi sosok Al Ghazali. Lalu setelah di Cairo dan membaca buku-buku Abid Jabiri, entah kenapa saya merasa sangat muak kepada Al Ghazali. Untungnya, saya bisa 'terselamatkan' setelah baca "

Sepulang Belanja Buku Kemarin

Ya begini memang kalo punya teman kandidat duktur. Saya cuman mengiyai saja pas diajak muter-muter cari buku untuk bahan referensi dia. Meskipun agak capek juga karena sekitar setengah jam keliling Opera, dan nyari-nyari maktabah gak ketemu-ketemu juga.  Ternyata setelah ketemu, "ealah", disitu doang. Tau gitu tadi gak usah muter-muter dulu. Wong ya disitu saja. Ya begitulah, orang keren memang suka tersesat, seperti yag diperagakan Zoro dalam anime One Piece.  Dari dulu buku-buku keluaran Markaz Qoumi Li Tarjamah memang sangat menarik perhatian saya. Mulai dari buku-buku Yaunani kuna sampai ke abad pertengahan, dari filsafat modern sampai ke post-mo yang sulit sekali kita dapatkan (apalagi membaca) teks aslinya, akan dengan mudah kita dapatkan terjemahannya. Plus subsidi besar-besaran dari negara khusus bagi pelajar. Cukup dengan menunjukkan kartu mahasiswa (kerneh), kita mendapat diskon lima puluh persen. Alias separo harga.  Setelah mengobrak-abrik isi toko, akhirnya saya

Catatan

Pertama kali berkenalan dengan sosok Toha Abdurrahman lewat pengajian yang diampu oleh Mas Kyai Aoun Abid. Saat itu yang dibaca dan dijadikan bahan diskusi adalah buku berjudul "sual al manhaj" (the question of methodology). Sual manhaj sebenarnya kumpulan tulisan  Dr. Toha Abdurrahman yang disampaikan dalam perkuliahan serta muhadloroh ilmiah selama dua puluh tiga tahun. Isinya sangat berbobot dan membicarakan banyak hal, mulai dari "ta'amul ma'a turats", rekonstruksi maqosid syariah, pro-kontra ilmu mantiq di kalangan para ulama ( disii yang menjadi fokus kajian beliau adalah bagaimana para fukaha mennentang mantiq serta bagamana karakter "mantiq arobi" mampu bergerak sebagai pembanding daripada "mantiq falsafi"). Dan masih banyak pembahsan lain yang sangat penting untuk dibaca dan dikaji dalam kitab tersebut. Terus selain "sual manhaj", kitab beliau yang sangat favorit bagi saya adalah kitabnya yg berjudul "ruh al hadats

Guru Yang Damai

" Apakah beliau 'Alim? " Tanya saya kepada senior saya.  "Lha dari sisi apa beliau dikatakan tidak 'Alim?! ". Jawabnya. Saya orangnya memang seperti itu. Gak gampang percaya dan mudah ikut2an saja.  Tapi setelah menyimak beberapa pengajian beliau, meskipun gak banyak, saya sepakat dengan senior saya tadi. Gus Baha memang 'alim. Sebenarnya sebelum viral seperti sekarang ini, dulu pas di Bandar Kidul sudah ada teman yang ngasih tahu tentang beliau. Dulu yang dikasih sama temen saya masih berupa audio mp3. Tapi saya gak terlalu mengikuti, karena ngajinya panjang-panjang. hehe Yang saya kagumi dari Gus Baha adalah sosoknya yang damai. Ditambah dengan selera humor yang cukup tinggi, membuat beliau sangat diterima dan digemari.  Saat ini, orang seperti Gus Baha memang sangat dibutuhkan. Karena sekarang kita sedang "krisis" akan kesadaran pluralitas dalam beragama yang menimbulkan mudah "bentrok" dan tergesek antar umat sendiri. Akhirnya, di

Yang Samar

Di saat sedang bingung, atau bahasa jawanya "keblinger", apalagi yang bisa menyejukkan hati selain "dawuh" guru. Betul yang dikatakan gurunda Syekh Abu Musa, seorang pencari ilmu semestinya tidak terpana dengan penampakan "dzahir" saja. Ahli ilmu itu orang khusus, punya keistmewaan. Jadi yang menjadi prioritas hidup harus hal-hal yang istimewa, istilah beliau "ma yulbis", yakni sesuatu yang samar. Tidak melulu yang dzahir saja.  "Sesungguhnya, yang musti diprioritaskan ahli ilmu adalah sesuatu yang samar", begitulah kata beliau. Diantara sesuatu yang samar  tersebut adalah ridlo Sang Pencipta, pengabdian, doa dan harapan yang baik kepada sesama. Atau spesifiknya, yang samar bagi pencari ilmu ya ilmu itu sendiri. Pandangan semacam ini menjadi pentig ketika dihadapkan pada pemikiran materialis seperti Marx misalnya, yang mengatakan bahwa  ide-ide, peradaban, bahkan sejarah ber-"asal" dari materi. Berarti kehidupan berasal dari s
Aku berisik sekali disini memikirkan banyak arti yang tak dikatakan ayah inikah jalan yang berkah Entahlah, aku hanya berjalan berputar seperti waktu Akal memang nakal seolah semua kenal Tapi kemana hati akan pergi Sungguh dia paling mengerti

Ibu

Sepuluh tahun terakhir saya jarang kumpul bareng dengan keluarga, khususnya ibu. Kalau sama ayah masih mending, beliau pegang hp, masih gadgetan, punya FB, IG, WA dan dulu, dulu sekali, beliau juga sempat twiteran. Jadi kalau butuh apa-apa ya tinggal chat. Bahkan kadang kita seringkali berbagi poto cangkir kopi, gorengan, atau suasana warung kopi: pertanda sudah ngopi, atau sekedar mengingatkan bagi yang belum ngopi. Tapi kalau ibu, tidak. Beliau gak pegang hp, da sulit memang kalau diajak belajar main hp.  Setahu saya ibu itu tipenya pendiam. Dulu kalau sambang pondok, sesekali nanya kabar, dan nanya gimana keadaan dan kebutuhan adik, setelah itu ya sudah. Itu saja. Tak jarang saya mendengar cerita teman-teman yang pingin mondok di sana, atau kuliah di sana, terus gak kesampaian gara-gara gak diizinin sama ibunya. Alasannya hampir sama, katanya "gak mau jauh-jauh". Tapi kalau saya beda, dari dulu kalau pingin kamana saja ibu pasti selow. Gak pernah "menggaki", apal

Pragmatisme; Upaya Pertemuan Ide Dan Realitas, dan Upaya Pemisahan Diri Dari Sejarah

Ketika mengkaji sejarah pemikiran umat manusia, kira-kira apa yang paling berkesan dalam diri kalian? Kalau saya merasakan betapa “manusia bukanlah makhluk yang sederhana”. Maksudnya, dari sisi sejarah, kehidupan manusia mempunyai batas temporal masing-masing. Tapi tidak dengan pemikirannya. Pemikiran manusia terus bergerak dari satu masa ke masa. Seolah-olah tidak bisa diketahui kapan selesainya proses pencarian tersebut, atau memang manusia tidak ingin menghentikan pemikirannya sendiri. Akibatnya, kita yang hidup di masa kini merasa sangat kesulitan dalam menghadapi warisan sejarah pemikiran para pendahulu kita. Bahkan dalam praktiknya, sejarah tersebut tak sesederhana saat dibayangkan bahwa ia adalah warisan, justru karena sering berisi “rumusan-rumusan” kebenaran yang saling bertentangan satu sama lain, maka lebih tepat jika diartikan sebagai “beban mental-intelektualitas” yang harus ditanggung umat manusia setelahnya. Meskipun demikian adanya, lagi-lagi manusia dalam masa tert

Catatan Singkat Saat Sedang Sakit

Sakit: bisa berarti musibah, bisa juga ujian atau anugerah. Kita semua mengetahuinya. Tapi sakit bisa juga berarti "fase", dimana seseorang merasakan keterbatasan. Terkadang yang "lebih baik" itu tidak melulu tentang kuat dan kuasa. Kita mesti sadar selama kita kuat, selain menanggung tugas-tugas, kita juga semakin dibelenggu oleh "urusan" yang kita buat dan pikirkan sendiri. Kadang saya sendiri sadar, sekaligus jengkel betapa sebenarnya saya terlalu sibuk dengan apa-apa yang keluar dari rencana dan pikiran sendiri yang terbatas ini-- dan tak jarang "aku" menjadi budak atas ke-"aku"-anku sendiri. Tapi Tuhan terus mengawasi kita. Dialah yang sejatinya sejati sang Pengajar alam semesta ini. Disaat manusia sudah terlampau melewati batas, dia turunkan "sedikit" rasa sakit, sebagai isyarat bahwa manusia harus beristirahat. Manusia harus memikirkan ulang apa yang sebenarnya terjadi, seberapa jauh dia telah mengikuti "diri"

Yang Tidak Pasti

Seperti biasanya, tadi pagi saya bangun jam satu an. Maen hp sebentar terus ke "hamam", mandi dan gosok gigi. Setelah itu langsung solat dzuhur. Lalu lihat masih ada bekas kopi tadi malam yg masih banyak, saya pun bersantai ria dirumah: buka youtube, musikan, ngopi dan baca-baca sedikit. Tidak ada kegiatan apa-apa hari ini, cuman ada dua target saja: belanja buat pesanan, lalu ngirim ke pihak penjual bagasi, karena pemilik bagasi terbang ke jakarta besok malam,  satunya lagi ada tanggungan buat tulisan yang harus diselesaikan terakhir hari ini. Sebelum garap kerjaan tadi, saya harus masak dulu buat sarapan (sekitar jam tiga sore). Maklumlah, namanya saja "jomblo tegar pribadi". Setelah sarapan, saya harus melakukan rutinitas harian: nyisah. Sudah pas, karena tokonya buka agak sorean, kadang habis magrib, jadi saya rencana belanja agak entaran.  Setelah semua cukup, saya langsung bergegas berangkat dinas. Rutenya: belanja, bagasi dan ketemuan untuk garap tulisan.  Te

Warisan Turos Abdul Qahir Al Jurjani

Membaca tulisan Syekh Abu Musa dalam majalah Azhar edisi september kali ini membuat saya sadar, betapa keluhuran warisan ilmu para pendahulu menandakan kebijaksanaan mereka dalam menyikapi perbedaan. Seperti dalam tradisi ilmu ma'ani wa bayan, Abdul Qahir Al Jurjani (400-471 H) misalnya, meskipun bermadzhab Asy'ari beliau tidak segan untuk membaca turats Al Jahidz, seorang ulama fanatik madzhab muktazilah. Meskipun mempunyai perbedaan dalam ranah teologis, Abdul Qahir mengakui bahwa apa yang ia baca dan ia temui dari Al Jahidz adalah semacam "isyarat-isyarat" dan "simbol-simbol" yang pada akhirnya beliau rumuskan dan konsepsikan dalam dua kitab Magnum Opusnya: "asror Al balaghoh" dan "dala'il i'jaz". Lalu setelah masa Abdul Qahir, munculah seorang ulama yang pakar dalam tafsir. Dia adalah Imam Az-Zamakhsyari (467-538 H). Waktu itu beliau seolah-olah merasa tidak cukup dengan kajian tafsir di masanya yang hanya dipenuhi analisis-an

Buku Bekas dan Madzhab Hegelian

Tepat sekali kalau Cairo disebut sebagai surganya buku. Tidak hanya buku-buku yang membahas kajian keislaman seperti dalam bidang turots dan kontemporer saja, banyak juga buku-buku yang diterjemahkan dari literatur barat, entah itu filsafat, sastra, ekonomi, politik dll.  Bisa dikatakan kalau gengsi orang-orang Mesir tentang buku sangatlah tinggi. Subsidi yang diberikan oleh negara untuk menunjang literasi di sini pun cukup tinggi. Dan itu sangat wajar bagi sebuah negeri yang mempunyai rekam jejak peradaban yang besar di masa lalunya.  Jadi bukan hal aneh jika ada banyak buku yang dijual sangat murah, dan menurut saya, bahkan kadang sampai terkesan tidak wajar, jika dilihat dari ketebalan serta kualitas isi yang wow sekali. Bahkan setau saya, perbandingannya bisa sampai sepuluh kali lebih murah dibanding buku-buku yang dijual di Indonesia (seperti gramedia misalnya). Tapi dari sekian banyak toko buku yang ada, yang paling favorit bagi saya ya tetep "Azbakiah", alias buku-buku

Eksklufitas

Ingat dulu pas di pondok. Kata Mustahiqku (panggilan untuk ustadz di pondok) : "Ilmu yang kalian dapat di dalam kelas itu hanya 30 persen. Selebihnya tergantung seberapa kalian mengembangkan diri di luar kelas." Begitu juga didikan orang tua. Untuk memahami apa yang diajarkan di sekolah (saat itu masih SD), dulu seringkali orang tua saya membelikan buku-buku di toko buku yang kira-kira tebalnya tiga sampai lima kali lebih besar dari buku pelajaran yang diajarkan di sekolah. Sambil menggembala kambing saya sering membawa buku-buku tersebut karena dituntut oleh orang tua untuk dikhatamkan. Lalu kalau sudah khatam dibelikan lagi begitu seterusnya.  Dan sekarang di Azhar, yang tak henti-henti ditekankan oleh Masayikh dan Para Duktur adalah membaca dan membaca. Untuk tahap seorang pengkaji keilmuan, selain perlu akan bimbingan, kita juga harus membaca, mencari dan menghayati segala hal. Baik itu  penikiran-pemikiran yang bersifat "dalam", atau "luar". Dengan de

Mari Membaca; Mari Menjemput Kesadaran

Saya pernah sowan ke salah satu Kyai yang sangat dikenal kealimannya di daeerah Kediri. Waktu itu pas sowan habis lebaran, saya ditemui di teras "ndalem", beliau cerita banyak hal mengenai ilmu dan dunia kepesantrenan. Salah satu yang saya tangkap dari penjelasan beliau waktu itu ialah, perhatiannya dan keinginannya untuk mengembangkan bidang literasi kepesantrenan. Pasalnya, dalam konteks keilmuan Islam, tidak dipungkiri lagi bahwa yang mempelajari dan menekuni ilmu-ilmu islam klasik (turats) secara mendalam adalah mereka yang belajar di pesantren salaf. Meskipun demikian, merupakan fakta yang sangat mengejutkan bahwa kesadaran literasi teman-teman santri sangatlah minim. Biasanya, mereka yang hanya mondok di pesantren saja tanpa melanjutkan ke dunia akademik,  apalagi jika disertai cara pandang yang eksklusif, tentu akan sulit sekali berkembang, dalam arti kurang mampu memberikan gagasan-gagasan yang kreatif yang dihasilkan dari pemahaman terhadap turats. Khususnya dalam be

Firman

"The Qur’an, the universe, and humanity are three kinds of manifestations of one truth." ~ Said Nursî Kehidupan terus bergerak. Banyak hal yang senantiasa terjadi dan berlalu begitu saja. Seolah-olah semua terpisah dan menyusun bab-bab sejarahnya sendiri-sendri yang sulit dimengerti secara utuh-- lantas siapakah yang bisa menjamin "keutuhan" dalam kehidupan yang disekap oleh paradoksal ini.  Lalu pertanyaan selanjutnya, siapakah yang lebih natural: alam  semesta ataukah pikiran manusia? Entahlah, selain kita perlu untuk membaca gejala-gejala luar dari alam semesta, yang tak kalah penting untuk kita mengerti dan pahami adalah  sesuatu "yang dalam" pada manusia itu sendiri. Banyak hal yang bisa ditumakan dalam diri manusia: kata-kata, rencana, cita-cita, harapan, keputus asaan, ketulusan, kekeruhan, kebencian, ketakutan, siasat, doa, dan... ketidaktahuan yang berarti pula ketakutuhan. Barangkali demikian, setengah dari manusia adalah anugerah, dan setengahny

Gus Miek

Ada sebuah percakapan menarik yang terjadi diantara Dua Gus (dua wali) yang selalu menjadi "panutan" kita bersama, yaitu Gus Miek dan Gus Dur. Saya sudah lupa baca dari mana, tapi saya masih ingat betul bagaimana isinya. Kurang lebih seprti ini: Gus Dur: " Menurut njenengan gimana kondisi Indonesia ke depan Gus? " Tanya Gus Dur kepada Gus Miek.  Dengan sangat enteng Gus Miek menjawab: " Halah, santai, di Indonesia ini yang bermasalah sebenarnya hanya dua Gus."  "Siapa Gus? " kejar Gus Dur. Jawab Gus Miek: " Kamu dan saya." Dulu ketika mbaca ini saya senyum-senyum sendiri. Merasa kagum dan asik saja dengan tindak lampah kedua ulama itu. Saat itu saya gak berpikir yang aneh-aneh, karena setahu saya yang mencirikan beliau berdua adalah nyentrik dan nyeleneh. Tapi belakangan saya sadar,  bahwa jawaban yang dilontarkan Gus Miek itu gak hanya normatif, tapi juga mempunyai ada muatan teoritis juga. Yaitu sesuai dengan salah satu aforisma Ibnu

Atif 'Iraqi dan Mitos Perang Kebudayaan

Sejak dulu saya sering mendengar ada istilah "perang pemikiran". Saking populernya istilah ini, sampai seringkali saya mendengarnya, padahal waktu itu saya masih duduk di dunia pesantren salaf yang notabene "asing" dengan isu-isu kekinian. Perang pemikiran yang diterjemahkan dari bahasa arab "gazhwul fikri" ini, cukup ramai dibahas dan dibicarakan dalam literatur Indonesia. Meskipun sangat populer, sampai sekarang belum diketahui secara pasti siapa yang memunculkan istilah ini. Tapi setelah saya cari tahu, dalam literatur Indonesia rata-rata media yang menyuarakan gerakan tersebut lebih dominan kepada "orang-orang kanan", meskipun tidak semuanya.  Inti dari gerakan ini adalah anti-barat. Karena barat adalah kafir, maka segala yang berasal dari barat perlu untuk kita tolak. Narasi yang sering dibangun ialah, bahwa dalam sejarah, Islam terbukti menang ketika berperang melawan orang-orang kafir secara fisik, maka yang harus ditempuh oleh orang kafir

Yang Tinggi

Aku ini anak seorang petani tulen. Dari situ aku belajar apa falsafah bertani, bahwa untuk menuju hasil, ada beberapa hal yang menjadi syarat yang tidak bisa diabaikan: biji, tanah, dan kerja tani. Biji itu bisa diartikan niat, tanah adalah bahan atau materi, dan kerja adalah prosesnya.  Jadi nasi yang kita makan setiap hari itu bukan sesuatu yang biasa-biasa saja. Karena ketika dia sudah menjadi nasi, berarti dia sudah "berhasil" dalam pembentukan dirinya sendiri dengan melalui tiga persyaratan tadi. Lalu bagaimana dengan kita, sudahkah kita menjadi manusia yang "berhasil"?  Barangkali keberhasilan kita sebagai manusia tak jauh beda dengan falsafah pertanian tadi. Misalkan dalam urusan mencari ilmu, dulu pas di pesantren seringkali Mbah Kyai bilang, bahwa syarat tahsilul ilmi itu ada tiga: niat seorang santri, pengajaran sang guru, dan kerja keras orang tua. Satu saja luput, maka sulit untuk hasil. Menurut saya, tiga syarat tersebut gak sepele. Misalkan untuk yang

Berselisih Untuk Benar

Di suatu malam, ada isu menarik yang menjadi bahan obrolan antara saya dan teman-teman. Berawal dari teman saya yang memberi kabar, bahwa ada salah satu masisir (mahasiswa mesir) yang memiliki "latar belakang" tertentu ingin mendirikan komunitas kajian baru yang dianggap sama dengan manhaj Azhar.  Kalau benar apa yang dikatakan demikian, berarti komunitas-komunitas kajian seperti Lakpesdam, Mizan, Sasc Nu, Lbm, Akar dll menurut orang tesebut tidak bermanhajkan al-Azhar. Isu ini menarik. Tapi cukup mengesalkan, dan saya rasa "kita" yang selama ini berusaha aktif di dunia kajian tidak perlu marah lantas meneror atau memberikan aksi berupa hujatan dan ujaran-ujaran kebencian. Itu tidak menyelesaikan masalah. Kita cukup ngopi, nyisah dan sedikit "misuh" gitu saja. Tapi setelah tak pikir-pikir, ini bakalan asik kalau si orang tadi bisa membuktikan dan merealisasikan gaasannya tadi. Dia ngumpulin masa yang sependapat dengan dia, lalu membentuk kajian, dan sampai

Menulis Untuk Menghidupkan Masa Kini dan Masa Depan

Yang tak mungkin terlepas dari perpisahan adalah kenangan, kesan-kesan, dan, penyesalan. Dari tiga hal tadi, yang mau saya bahas dalam tulisan kali ini adalah yang ketiga. Ya saya menyesal sekali; mengapa selama mondok di Lirboyo dulu saya tidak bisa menulis. Betapa meruginya diri ini karena tidak mengenal "bahasa peradaban" itu. Kalau dihitung, tidak sedikit durasi waktu yang saya habiskan untuk belajar agama di Kediri. Kurang lebih sembilan tahun saya nyantri di kota yang di juluki "qoryatul auliya" itu. Tapi mana hasil yang bisa saya hadiahkan kepada anak-anak zaman sebagai hasil dari pencarian dan pemaknaan? Tidak ada. Bahkan terlihat lucu seumpama suatu saat ada yang bertanya kepada saya apa yang sudah saya hasilkan setelah "gemblengan" bertahun-tahun itu, lalu saya asik menjawab sambil bernostalgia bahwa dulu saya pernah mengkhatamkan kitab ini, kitab itu, sudah hapal kitab ini, kitab itu. Terus terjebak dalam romantisme masa lalu.  Tidak ada aksara,

Tak Pernah Usai

Belajar itu tidak mudah. Ada tantangan tesendiri yang harus dijalani: seberapa tangguh dan setia kita terhadap ilmu yang kita mau. Terkadang saking sulitnya dalam memehami bab atau fan tertentu, sudah diulang berkali-kali, dan bahkan menghabiskan waktu yang cukup banyak, tapi tetap saja merasa gagal paham, dan, di waktu seperti itulah kadang perasaan "yang tidak-tidak" itu keluar: semacam pesimisme, kecewa yang terbayarkan pada diri sendiri, seolah ingin menyerah, dan berontak. Tapi alam bawah sadar tak menyukai kesadaran semacam itu. Memuakkan!  Setidaknya aku ingin jujur: bahwa potensi, kesempatan, dan "kemungkinan" tak selalu datang dan hadir dari diriku sendiri. Dan aku, atau bahkan kita semua, sudah semestinya memahami bahwa salah satu alasan mengapa kita senantiasa berjalan hingga kini adalah karena ada hal istimewa yang memang dihadiahkan Tuhan kepada kita: seperti doa ibu, dukungan ayah, semangat sahabat, berkah guru dan orang-orang soleh.  Barangkali hal se

KONSULTASI

Ceritanya kemarin saya telat pas talaqqi kitab dala'l i'jaz. Tapi masih sempat ikut setengah pengajian beliau, Syekh Muhammad Muhammad Abu Musa, salah satu anggota "hai'ah kibar ulama". Terus setelah selesai, beliau pun beranjak meninggalkan kursi tempat ngajar dars. Lalu dalam perjalanan pulang saya berniat untuk konsultasi kepada beliau, terus saya bilang: "Maulana, sa ya mau tanya.."  "Iya buruan! " jawab beliau. "Maulana begaimana pendapat anda menyikapi.....? " saking semangatnya saya sampai ngomong ngalor ngidul gak jelas. " Kamu ini ngomong apa? " Jawab beliau sambil melanjutkan perjalanannya.  "Tapi gini maulana...." Saya berusaha mengarah kepada poin kejanggalan saya. Lalu beliau berhenti, sambil bertanya: " Kamu baca buku apa? " "Ali harb Maulana.." "Siapa itu Ali Harb? " Saya diam sebentar, sedikit bingung sambil mencari jawaban yang tepat. "Itu yang pemikirannya sama d

Rasionalitas Ilmu Periwayatan Hadis

Benar atau tidak, akhir-akhir ini saya merasa kalau pengkaji ilmu hadis terbilang sangat sedikit jika dibanding dengan ilmu-ilmu keislaman yang lain. Seperti contoh dalam lingkungan pesantren salaf, menurut hemat saya teman-teman santri lebih cenderung kepada ilmu nahwu-sorof, ilmu balaghoh, tafsir, ilmu kalam, dan yang paling ramai dan selalu meriah adalah ilmu fikih. Tapi ilmu hadis, sangat jarang sekali. Dulu ada teman yang ingin membentuk komunitas kajian ilmu hadis kecil-kecilan, dan dia mengeluh kepada saya bahwa disamping sedikitnya anggota kajian, dia juga kesulitan menemukan rujukan yang luas yang berbicara seputar ilmu hadis. Artinya, dalam lingkungan pesantren pun dirasa sangat minimnya "dirosah" serta fasilitas berupa literatur-literatur arab yang mengarah kepada ilmu hadis. Kalau kitab-kitab klasik seperti kutubus sittah banyak tersedia di toko-toko kitab. Tapi ya terkesan itu-itu saja. Tidak ada buku-buku lain yang sekiranya bisa menyegarkan pandangan teman-tema

Kesadaran Literasi

Setelah mengikuti kajian ilmiah bersama teman-teman Himasal Mesir yang mengangkat tema "Feminisme" tadi malam saya perlu membuat catatan ringkas ini. Diantara yang memantik saya untuk membuat catatan adalah setelah mendengar pernyataan si pemateri, bahwa setelah dia susah payah bergelut dengan data dan tulisan selama dua minggu itu ternyata setelah tulisannya jadi, penulis merasa aneh dengan tulisannya sendiri. Dia kesal karena merasa apa yang dia tulis ternyata bukanlah apa yang ada di dalam kepalanya.   Mendengar itu saya sontak ketawa sendiri. Hal semacam itu memang lazim dirasakan bagi kita yang kurang "terbiasa", atau "terlatih" untuk menyampaikan gagasan dalam bentuk tulisan. Dunia literasi bukan dunia pemaknaan atau perdebatan secara verbal. Seperti yang dikatakan Puthut Ea, menulis adalah ilmu sendiri. Dunia literasi memang tak cukup diwakili dengan adanya pemahaman yang mendalam atau analisis yang tajam begitu saja. Dunia literasi adalah dunia ka

Sebaik-baiknya Islam

Kepikir gak sih, kalau sekarang ketika kita tumbuh cukup besar ternyata kita semakin ngerasa bahwa kemauan dan rencana kita ternyata juga tambah besar. Besar dalam arti banyak, aneh-aneh, ruwet dan cenderung rumit. Tidak seperti pas masih kecil dulu, yang tak banyak rencana, tak banyak pengaruh dan perbedaan. Dulu pas masih kecil, dalam melakukan banyak hal kita lebih tulus, polos, ikhlas dan apa adanya. Makanya apapun yang kita hadapi saat itu semuanya terkesan senang-senang dan menikmatinya.  Itu dilihat dari sisi kehidupan yang bersifat umum. Belum kalau dilihat dari sisi yang bersifat khusus dan personal. Saya rasa semuanya sama, bahwa manusia ketika tumbuh dewasa maka mau tidak mau dia harus berhadapan segala yang bersifat prinsipil; berkaitan erat dengan pandangan-pandangan dan tujuan kehidupan.  Maka saat itu dia akan diajak berbicara mengenai masalah-masalah yang serius seperti agama, ideologi dan politik misalnya. Dan berkaitan dengan itu semua, yang menjaga eksistensi diri ki