Menulis Untuk Menghidupkan Masa Kini dan Masa Depan

Yang tak mungkin terlepas dari perpisahan adalah kenangan, kesan-kesan, dan, penyesalan. Dari tiga hal tadi, yang mau saya bahas dalam tulisan kali ini adalah yang ketiga. Ya saya menyesal sekali; mengapa selama mondok di Lirboyo dulu saya tidak bisa menulis. Betapa meruginya diri ini karena tidak mengenal "bahasa peradaban" itu. Kalau dihitung, tidak sedikit durasi waktu yang saya habiskan untuk belajar agama di Kediri. Kurang lebih sembilan tahun saya nyantri di kota yang di juluki "qoryatul auliya" itu. Tapi mana hasil yang bisa saya hadiahkan kepada anak-anak zaman sebagai hasil dari pencarian dan pemaknaan? Tidak ada. Bahkan terlihat lucu seumpama suatu saat ada yang bertanya kepada saya apa yang sudah saya hasilkan setelah "gemblengan" bertahun-tahun itu, lalu saya asik menjawab sambil bernostalgia bahwa dulu saya pernah mengkhatamkan kitab ini, kitab itu, sudah hapal kitab ini, kitab itu. Terus terjebak dalam romantisme masa lalu. 

Tidak ada aksara, tidak ada makna yang menandakan dirinya ada.

Dulu di pondok saya masih sempat "menangi" mengaji kepada Masyayikh yang sepuh seperti Mbah Yai Idris, Mbah Imam, Mbah Aziz,  Mbah Tohir, dan Mbah Bahru rahimahumulloh. Coba seumpama saat itu saya bisa nulis, pasti akan saya tulis pendapat-pendapat beliau, adab-adab beliau dalam membimbing santri, dan segala hal yang berkaitan dengan beliau.

Coba betapa beruntungnya andai saja saya bisa menuliskan semua itu. Lalu kelak ketika saya cukup tua; mempunyai keluarga yang hangat dan sederhana, dikerumuni anak-cucu, serta beberapa anak-didik yang bersiap melanjutkan hidup dan perjuangan, mereka bisa membaca gambaran dan jejak pengembaraan saya melalui tulisan-tulisan berisikan ajaran para guru dan bijak bestari.

Tapi itu semua tidak ada. Dan waktu berjalan sangat cepat untuk berlalu begitu saja. Banyak hal-hal yang dulu terkesan lumrah dan kasat mata, kini perlahan menjadi buram. Pada saat itulah yang semestinya "ada" seolah-olah bergerak menuju tiada: penyesalan yang semakin tenggelam dan tak berdaya di depan kehilangan.

Sebenarnya dalam hal ini saya tidak ingin menyalahkan siapapun. Tapi yang pasti, perasaan bersalah ini muncul setelah belakangan saya sadar akan pentingnya sebuah tulisan, bersamaan dengan kesadaran bahwa sekarang adalah segala hal tentang masa lalu yang tak mungkin terulang.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?