Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2019

Sekedar Catatan Untuk Sebuah Proses

"Apa yang musti dilakukan oleh  seorang pengkaji atau pembaca?" Bagi saya, pertanyaan semacam ini bukanlah sederhana, sekaligus sangat prinsipil. Dan berbicara tentang prinsip itu bukan urusan mudah: selalu ada pertaruhan disana. Kemarin ada seorang senior datang dari Indo. Ke Cairo pastinya ada keperluan. Dengar-dengar sih sedang melakukan penelitian. Lalu kumpul bersama kami para junior, berbicara dan sharing banyak hal. Lebih tepatnya memberikan pengarahan melalui ceramah singkat. Gak terlalu formal, tapi cukup intens dan esklusif.  Diantara salah satu poin yang menurut saya "menarik" adalah  bagaimana pengalaman, atau "keadaan" yang dia rasakan dulu ketika di pesantren dan sesudah berangkat ke Cairo.  " Dulu setelah lulus pesantren, saya sangat mengangumi sosok Al Ghazali. Lalu setelah di Cairo dan membaca buku-buku Abid Jabiri, entah kenapa saya merasa sangat muak kepada Al Ghazali. Untungnya, saya bisa 'terselamatkan' setelah baca "

Sepulang Belanja Buku Kemarin

Ya begini memang kalo punya teman kandidat duktur. Saya cuman mengiyai saja pas diajak muter-muter cari buku untuk bahan referensi dia. Meskipun agak capek juga karena sekitar setengah jam keliling Opera, dan nyari-nyari maktabah gak ketemu-ketemu juga.  Ternyata setelah ketemu, "ealah", disitu doang. Tau gitu tadi gak usah muter-muter dulu. Wong ya disitu saja. Ya begitulah, orang keren memang suka tersesat, seperti yag diperagakan Zoro dalam anime One Piece.  Dari dulu buku-buku keluaran Markaz Qoumi Li Tarjamah memang sangat menarik perhatian saya. Mulai dari buku-buku Yaunani kuna sampai ke abad pertengahan, dari filsafat modern sampai ke post-mo yang sulit sekali kita dapatkan (apalagi membaca) teks aslinya, akan dengan mudah kita dapatkan terjemahannya. Plus subsidi besar-besaran dari negara khusus bagi pelajar. Cukup dengan menunjukkan kartu mahasiswa (kerneh), kita mendapat diskon lima puluh persen. Alias separo harga.  Setelah mengobrak-abrik isi toko, akhirnya saya

Catatan

Pertama kali berkenalan dengan sosok Toha Abdurrahman lewat pengajian yang diampu oleh Mas Kyai Aoun Abid. Saat itu yang dibaca dan dijadikan bahan diskusi adalah buku berjudul "sual al manhaj" (the question of methodology). Sual manhaj sebenarnya kumpulan tulisan  Dr. Toha Abdurrahman yang disampaikan dalam perkuliahan serta muhadloroh ilmiah selama dua puluh tiga tahun. Isinya sangat berbobot dan membicarakan banyak hal, mulai dari "ta'amul ma'a turats", rekonstruksi maqosid syariah, pro-kontra ilmu mantiq di kalangan para ulama ( disii yang menjadi fokus kajian beliau adalah bagaimana para fukaha mennentang mantiq serta bagamana karakter "mantiq arobi" mampu bergerak sebagai pembanding daripada "mantiq falsafi"). Dan masih banyak pembahsan lain yang sangat penting untuk dibaca dan dikaji dalam kitab tersebut. Terus selain "sual manhaj", kitab beliau yang sangat favorit bagi saya adalah kitabnya yg berjudul "ruh al hadats

Guru Yang Damai

" Apakah beliau 'Alim? " Tanya saya kepada senior saya.  "Lha dari sisi apa beliau dikatakan tidak 'Alim?! ". Jawabnya. Saya orangnya memang seperti itu. Gak gampang percaya dan mudah ikut2an saja.  Tapi setelah menyimak beberapa pengajian beliau, meskipun gak banyak, saya sepakat dengan senior saya tadi. Gus Baha memang 'alim. Sebenarnya sebelum viral seperti sekarang ini, dulu pas di Bandar Kidul sudah ada teman yang ngasih tahu tentang beliau. Dulu yang dikasih sama temen saya masih berupa audio mp3. Tapi saya gak terlalu mengikuti, karena ngajinya panjang-panjang. hehe Yang saya kagumi dari Gus Baha adalah sosoknya yang damai. Ditambah dengan selera humor yang cukup tinggi, membuat beliau sangat diterima dan digemari.  Saat ini, orang seperti Gus Baha memang sangat dibutuhkan. Karena sekarang kita sedang "krisis" akan kesadaran pluralitas dalam beragama yang menimbulkan mudah "bentrok" dan tergesek antar umat sendiri. Akhirnya, di

Yang Samar

Di saat sedang bingung, atau bahasa jawanya "keblinger", apalagi yang bisa menyejukkan hati selain "dawuh" guru. Betul yang dikatakan gurunda Syekh Abu Musa, seorang pencari ilmu semestinya tidak terpana dengan penampakan "dzahir" saja. Ahli ilmu itu orang khusus, punya keistmewaan. Jadi yang menjadi prioritas hidup harus hal-hal yang istimewa, istilah beliau "ma yulbis", yakni sesuatu yang samar. Tidak melulu yang dzahir saja.  "Sesungguhnya, yang musti diprioritaskan ahli ilmu adalah sesuatu yang samar", begitulah kata beliau. Diantara sesuatu yang samar  tersebut adalah ridlo Sang Pencipta, pengabdian, doa dan harapan yang baik kepada sesama. Atau spesifiknya, yang samar bagi pencari ilmu ya ilmu itu sendiri. Pandangan semacam ini menjadi pentig ketika dihadapkan pada pemikiran materialis seperti Marx misalnya, yang mengatakan bahwa  ide-ide, peradaban, bahkan sejarah ber-"asal" dari materi. Berarti kehidupan berasal dari s
Aku berisik sekali disini memikirkan banyak arti yang tak dikatakan ayah inikah jalan yang berkah Entahlah, aku hanya berjalan berputar seperti waktu Akal memang nakal seolah semua kenal Tapi kemana hati akan pergi Sungguh dia paling mengerti

Ibu

Sepuluh tahun terakhir saya jarang kumpul bareng dengan keluarga, khususnya ibu. Kalau sama ayah masih mending, beliau pegang hp, masih gadgetan, punya FB, IG, WA dan dulu, dulu sekali, beliau juga sempat twiteran. Jadi kalau butuh apa-apa ya tinggal chat. Bahkan kadang kita seringkali berbagi poto cangkir kopi, gorengan, atau suasana warung kopi: pertanda sudah ngopi, atau sekedar mengingatkan bagi yang belum ngopi. Tapi kalau ibu, tidak. Beliau gak pegang hp, da sulit memang kalau diajak belajar main hp.  Setahu saya ibu itu tipenya pendiam. Dulu kalau sambang pondok, sesekali nanya kabar, dan nanya gimana keadaan dan kebutuhan adik, setelah itu ya sudah. Itu saja. Tak jarang saya mendengar cerita teman-teman yang pingin mondok di sana, atau kuliah di sana, terus gak kesampaian gara-gara gak diizinin sama ibunya. Alasannya hampir sama, katanya "gak mau jauh-jauh". Tapi kalau saya beda, dari dulu kalau pingin kamana saja ibu pasti selow. Gak pernah "menggaki", apal