Sepulang Belanja Buku Kemarin

Ya begini memang kalo punya teman kandidat duktur. Saya cuman mengiyai saja pas diajak muter-muter cari buku untuk bahan referensi dia. Meskipun agak capek juga karena sekitar setengah jam keliling Opera, dan nyari-nyari maktabah gak ketemu-ketemu juga. 

Ternyata setelah ketemu, "ealah", disitu doang. Tau gitu tadi gak usah muter-muter dulu. Wong ya disitu saja. Ya begitulah, orang keren memang suka tersesat, seperti yag diperagakan Zoro dalam anime One Piece. 

Dari dulu buku-buku keluaran Markaz Qoumi Li Tarjamah memang sangat menarik perhatian saya. Mulai dari buku-buku Yaunani kuna sampai ke abad pertengahan, dari filsafat modern sampai ke post-mo yang sulit sekali kita dapatkan (apalagi membaca) teks aslinya, akan dengan mudah kita dapatkan terjemahannya. Plus subsidi besar-besaran dari negara khusus bagi pelajar. Cukup dengan menunjukkan kartu mahasiswa (kerneh), kita mendapat diskon lima puluh persen. Alias separo harga. 

Setelah mengobrak-abrik isi toko, akhirnya saya mendapatkan lima buku bagus: dua buku tentang humanisme, satunya post-humanisme, terus kumpulan dialog bersama Whitehead, dan yang terakhir semacam memoar Betrand Russel. Teman saya belum puas karena hanya mendapat satu buku saja. Tapi karena sudah cukup sore kita pun memutuskan untuk pulang. Rencananya dia mau melancong lagi untuk memenuhi rujukan yang belum dapatkan.

Dalam perjalanan pulang, ada pemandangan menarik. Anak kecil berusia tiga-empat tahunan, duduk sambil menggendong bayi mungil di tengah keramaian terminal. 

Temanku mengeluhkan itu. katanya: " Kenapa musti demikian. Masih bayi sudah dipakai alat (nyari uang). Dan payahnya lagi, di depan kenyataan seperti itu saya gak bisa berbuat apa-apa". 

Tak ada yang wah dalam perjalanan itu, saya dan teman saya ngobrol biasa. Lalu ketika sampai pada monumen Ibrahim Pasha ( anak dari Wali Mesir Mohammad Ali Pasha, w. 1848 M) kita sepakat untuk beristirahat. Duduk santai sambil menghadap ke arah sang gubernur yang berada di tengah-tengah taman, dan sekedar menikmati suasana. 

" Terus kita ini kedepan jadinya gimana? " temanku nyeletuk lagi.

Dia mengakui sendiri, sebagai pengkaji sastra arab, diam-diam dia juga punya persoalan: apa sumbangsih sastra terhadap realitas? 

Tepatnya: apa yang mampu diperbuat oleh "teori" kritik sastra dalam menghadapi kehidupan? 

Dia juga mengatakan: " Lalu kira-kira apa guna filsafat yang kau geluti itu? "

"Entahlah! " jawabku.

Hidup kadang seperti itu. Semua orang boleh saja berbuat sesuka hatinya. Tapi disaat itu pula ia harus berani menghadapi "pertanyaan-pertanyaan"-- entah sebagai bias dari "fakta-fakta", atau sekedar refleksi atas keganjilan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?