Ibu

Sepuluh tahun terakhir saya jarang kumpul bareng dengan keluarga, khususnya ibu. Kalau sama ayah masih mending, beliau pegang hp, masih gadgetan, punya FB, IG, WA dan dulu, dulu sekali, beliau juga sempat twiteran. Jadi kalau butuh apa-apa ya tinggal chat. Bahkan kadang kita seringkali berbagi poto cangkir kopi, gorengan, atau suasana warung kopi: pertanda sudah ngopi, atau sekedar mengingatkan bagi yang belum ngopi.

Tapi kalau ibu, tidak. Beliau gak pegang hp, da sulit memang kalau diajak belajar main hp. 

Setahu saya ibu itu tipenya pendiam. Dulu kalau sambang pondok, sesekali nanya kabar, dan nanya gimana keadaan dan kebutuhan adik, setelah itu ya sudah. Itu saja.

Tak jarang saya mendengar cerita teman-teman yang pingin mondok di sana, atau kuliah di sana, terus gak kesampaian gara-gara gak diizinin sama ibunya. Alasannya hampir sama, katanya "gak mau jauh-jauh". Tapi kalau saya beda, dari dulu kalau pingin kamana saja ibu pasti selow. Gak pernah "menggaki", apalagi bilang "jangan!". 

Mau kemana saja dan sejauh apapun, pasti dituruti (bukan berarti tanpa syarat). Paling beliau bilang, " iling pesen ibu lho yho...", dan gak luput dari ucapannya, "tenang, ibu dungakno", ( tenang, ibu doain! ).Terus di saat-saat tertentu, kadang yang bisa saya harapkan ya doa orang tua itu. Dan dalam hidup saya, itu sangat manjur dan ampuh.


Memang benar, apa yang didapatkan seorang anak, tak pernah luput dari jerih payah orang tua. Dan sampai di sini, saya tak punya alasan lagi untuk berhenti bersyukur. Betapa beruntungnya punya engkau, bu!.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?