Mari Membaca; Mari Menjemput Kesadaran

Saya pernah sowan ke salah satu Kyai yang sangat dikenal kealimannya di daeerah Kediri. Waktu itu pas sowan habis lebaran, saya ditemui di teras "ndalem", beliau cerita banyak hal mengenai ilmu dan dunia kepesantrenan. Salah satu yang saya tangkap dari penjelasan beliau waktu itu ialah, perhatiannya dan keinginannya untuk mengembangkan bidang literasi kepesantrenan. Pasalnya, dalam konteks keilmuan Islam, tidak dipungkiri lagi bahwa yang mempelajari dan menekuni ilmu-ilmu islam klasik (turats) secara mendalam adalah mereka yang belajar di pesantren salaf. Meskipun demikian, merupakan fakta yang sangat mengejutkan bahwa kesadaran literasi teman-teman santri sangatlah minim.

Biasanya, mereka yang hanya mondok di pesantren saja tanpa melanjutkan ke dunia akademik,  apalagi jika disertai cara pandang yang eksklusif, tentu akan sulit sekali berkembang, dalam arti kurang mampu memberikan gagasan-gagasan yang kreatif yang dihasilkan dari pemahaman terhadap turats. Khususnya dalam berdialektika dengan para aktifis keilmuan yang lain dalam ranah isu-isu kontemporer.

Dalam hal ini, yang mau perlu disoroti adalah seputar "pembacaan" ilmiah. Mengapa harus demikian, apa kaitannya membaca dengan literasi, dan apa kaitannya dengan dialektika isu-isu kontemporer? Jelas sekali apa yang terjadi saat ini (realitas) tak bisa dilepaskan dari urgensi sebuah "pembacaan". 

Mungkin sudah maklum diketahui bahwa segala hal yang berkaitan dengan kehidupan, baik itu yang berkaitan dengan prinsip-prinsip, sikap dan pola-pikir yang membentuk sebuah kebudayaan dan peradaban tergantung bagaimana "cara berpikir", "cara membaca", dan "cara menghasilkan pengetahuan". Dan titik inilah yang seringkali disentuh oleh para pemikir "kiri" seperti Hasan Hanafi, Arkoun, Nashr Hamid Abu Zaid, Ali Harb dan selainya dalam berbagai kritiknya. 

Di Al Azhar, salah satu yang menekankan pentingnya "al qiroah al hayah" pembacaan yang hidup terhadap "teks" adalah Syekh Muhammad Muhammad Abu Musa rahimahulloh.

Kalau ada yang bertanya: "apa sebenarnya yang diajarkan syekh, mengapa ketika mengajarkan kitab "dala'il i'jaz" beliau selalu menekankan membaca dan membaca, berpikir dan berpikir, sehingga kita terkesan sulit untuk memahami ilmu balaghoh itu sendiri? "

Barangkali saya akan menjawab, bahwa yang diusahakan Syekh adalah "mengembalikan" kesadaran murid-muridnya. Beliau tetap mengajarkan dalail i'jaz, menguraikan secara gamblang teori-teori tentang ilmu balghoh. Tapi Syekh tidak mau memberikan pemahaman yang "instan" kepada murid-muridnya. Yang dikehedaki Syekh adalah manhaj, atau metodologi, atau "toriqotu tahsilul 'ilmi". Sebab itu beliau mengajarkan bagaimana cara membaca sebuah pemikiran, bagaimana berdialog dan melakukan pembacaan yang kreatif (qiroah muntijah).

Diantara yang menghambat kejumudan pemikiran adalah watak eksklusifitas seorang pengkaji keilmuan. Kadang rasa cukup dan puas terhadap ilmu, akan menghambat proses kreatifitas yang ada. Tapi tidak dengan Syekh Abu Musa. Kita murid-muridnya selalu dituntut nenjadi pengkaji yang kritis, hidup, dan terbuka.

Beliau mengatakan:


"  Bacalah segala sesuatu...

Bacalah apa saja yang ingin engkau baca, dan dengarlah apa saja yang ingin engkau dengar,  agar engkau bisa membedakan, agar engaku bisa menghukumi dengan akalmu. Maka saat itu engkau adalah orang yang berkehendak, dan benar-benar memiliki kebebasan berkehendak. Karena andai tanpa kehendakmu, kau tidak akan disiksa atau mendapat pahala.

Bacalah agar engkau tahu bagaimana cara mereka berpikir, dan jangan membaca agar engkau berpikir seperti yang mereka pikirkan.

Jika engkau membaca agar engkau berpikir seperti yang mereka pikirkan, maka engkau telah buat dirimu "ikut-ikutan" yang menjengkelkan, dan engkau telah menyia-nyiakan akal sebagai nikmat terbesar yang dianugerahkan kepadamu."

Jadi tugas seorang pembaca adalah merayakan kesadaran yang terpendam dalam dirinya. Serta ikut andil membangun dan berdialog dengan realitas secara bebas. Karena pembaca bukanlah budak! 






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?