Berselisih Untuk Benar

Di suatu malam, ada isu menarik yang menjadi bahan obrolan antara saya dan teman-teman. Berawal dari teman saya yang memberi kabar, bahwa ada salah satu masisir (mahasiswa mesir) yang memiliki "latar belakang" tertentu ingin mendirikan komunitas kajian baru yang dianggap sama dengan manhaj Azhar. 

Kalau benar apa yang dikatakan demikian, berarti komunitas-komunitas kajian seperti Lakpesdam, Mizan, Sasc Nu, Lbm, Akar dll menurut orang tesebut tidak bermanhajkan al-Azhar. Isu ini menarik. Tapi cukup mengesalkan, dan saya rasa "kita" yang selama ini berusaha aktif di dunia kajian tidak perlu marah lantas meneror atau memberikan aksi berupa hujatan dan ujaran-ujaran kebencian. Itu tidak menyelesaikan masalah. Kita cukup ngopi, nyisah dan sedikit "misuh" gitu saja.

Tapi setelah tak pikir-pikir, ini bakalan asik kalau si orang tadi bisa membuktikan dan merealisasikan gaasannya tadi. Dia ngumpulin masa yang sependapat dengan dia, lalu membentuk kajian, dan sampai sukses menelurkan karya ilmiah berupa antitesis yang membuktikan kalau komunitas-komunitas yang sudah berjuang puluhan tahun itu ternyata bukan azhari. Pasti menarik sekali. Saya senyum-senyum sendiri membayangkan andai itu bakal terjadi. Meskipun terkesan sedikit mustahil.

Kurang lebih seperti itulah cara saya pribadi dalam menghadapi perrbedaan. Saya cukup berkhayal, andaikan orang yang berseberangan dengan pendapat saya, lalu dia mampu menyuguhkan data, analisis dan fakta yang membuktikan kalau pendapat saya adalah salah, maka saya akan ketawa sekeras-kerasnya sambil bilang, "Matur suwon, cuk!", terus kalau mau dia bakalan tak traktir ngopi dan nyisah bareng. 

Di balik itu semua, diam-diam saya agak sadar, rupanya kini, atau bahkan sejak dulu, orang-orang tak henti-henti memperebutkan kebenaran. Kalau kita lihat segala hidangan yang pake isu-isu keagamaan yang terus "seliweran" di beranda sosial media kita selama ini ternyata, menurut hemat saya, menandakan watak dan gerak yang sama: ingin menjadi yang "paling" representatif terhadap Islam, terhadap kebenaran dan eksistensi. Inilah muaranya. Adapun wasilah yang dipake untuk menuju kesana bisa bermacam-macam: bisa berlomba-lomba berdalil ria, bercocok logi, berdebat, atau kalau tidak bisa ya terpaksa dengan ujaran kebencian misalnya. 

Entah memang harus demikian: kita "berbeda" dan "berselisih" karena itu sebagai bukti kalau kita benar-benar mencintai akan kebenaran, lalu memperjuangkan mati-matian kebenaran masing-masing,  atau sebaliknya, kita "bersepakat" dan "bersahabat" karena tidak memperdulikan nilai. Kita cukup cuek dan bersikap "bodo amat" dalam segala hal, tak usah repot-repot memperdebatkan apakah gerangan yang pantas disebut kebenaran absolut. 

Entahlah. Barangkali seperti itulah gambaran sederhana yang terus menuntut kita untuk mengerti lebih jauh mengenai "bahasa-bahasa-sejarah".

Namun, kalau benar ada seseorang yang memilih untuk tidak berselisih dan berdebat dengan yang lain dalam urusan kebenaran, setidaknya masih ada satu proses lagi yang takkan pernah usai: berdialektika dan bertarung melawan diri sendiri. Dan itu bukan urusan gampang, dan saya rasa hal semacam itulah yang telah membangun kehidupan sampai sedemikian panjang, luas dan setua ini.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?