Kesadaran Literasi

Setelah mengikuti kajian ilmiah bersama teman-teman Himasal Mesir yang mengangkat tema "Feminisme" tadi malam saya perlu membuat catatan ringkas ini. Diantara yang memantik saya untuk membuat catatan adalah setelah mendengar pernyataan si pemateri, bahwa setelah dia susah payah bergelut dengan data dan tulisan selama dua minggu itu ternyata setelah tulisannya jadi, penulis merasa aneh dengan tulisannya sendiri. Dia kesal karena merasa apa yang dia tulis ternyata bukanlah apa yang ada di dalam kepalanya.  

Mendengar itu saya sontak ketawa sendiri. Hal semacam itu memang lazim dirasakan bagi kita yang kurang "terbiasa", atau "terlatih" untuk menyampaikan gagasan dalam bentuk tulisan. Dunia literasi bukan dunia pemaknaan atau perdebatan secara verbal. Seperti yang dikatakan Puthut Ea, menulis adalah ilmu sendiri. Dunia literasi memang tak cukup diwakili dengan adanya pemahaman yang mendalam atau analisis yang tajam begitu saja. Dunia literasi adalah dunia kata-kata: tentang bagaimana cara kita menyusun tulisan dengan membuat pembukaan, merumuskan persoalan dalam sebuah paragraf, menyisipkan data, mengkritik atau mengembang data tersebut lalu menutup tulisan dengan menyimpulkan gagasan atau yang lainnya. 

Selain memang butuh latihan, terkadang saya juga berpikir bahwa diantara hal yang menyebabkan seseorang sulit untuk menulis adalah karena dia kurang terbiasa "berdiskusi" dengan teks atau gagasan (meskipun saya juga yakin bukan itu satu-satunya alasan mengapa seseorang tidak bisa menuis). Itu tidak mudah. Tapi memang seperti itu praktiknya. 

Menurut saya pribadi menulis itu memang tidak mudah. Kadang saya terheran-heran, mengapa saya atau teman-teman seperti saya yang notabene belajar di timteng, yang hari-harinya begitu akrab dengan data, wawasan-wawasan keilsaman atau bahkan isu-isu mutakhir tapi praktiknya ketika dihadapkan pada masalah-masalah riil dan aktual, seperti yang terjadi di tanah air misalnya, ternyata kita tidak berkutik, tidak bisa menyumbang opini dalam bentuk misalanya. Mengapa bisa demikian? 

Anehnya, kalau melihat orang seperti EMHA yang mondoknya saja gak selesai, kuliah gak selesai, dan mengaku sendiri kalau dalam hidupnya ia hanya membaca lima buku saja. Tapi dia sudah menulis buku hampir seratusan. Itu belum yang di web pribadinya. Masih bejibun ratusan judul yang belum ia bukukan. Dan hebatnya Emha, dalam kebanyakan tulisannya ia mampu membawakan al-Quran untuk berdialektika dalam banyak sisi: dalam kehidupan kita sehari-hari, kritik sosial dan bahkan isu-isu politik yang terus hangat dan berkembang. 

Kalau saya amati, Emha jarang sekali (hampir tak pernah) dalam tulisannya menampilkan teori-teori barat yang njlimet sebagai analisisnya, atau pendapat-pendapat para tokoh Islam klasik maupun kontemporer sebagai rujukannya. Cukup al-Quran atau Hadis Nabi Saw saja beliau terlihat mampu menguraikan isi-Nya dan benar-benar meyakinan kalau kedua Nas Suci tersebut bisa dipahami oleh masyarakat secara luas.

Lantas apa kira-kira yang membuat kita "mandul" dalam literasi? menurut saya ada dua kemungkinan: karena memang tidak sadar akan pentingnya literasi sehingga melatih diri dalam kepenulisan, atau memang tersihir oleh berjuta-juta data, tapi secara fakta belum mampu "menghidupkan" data yang berkeliaran di pikiran tersebut kedalam realitas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?