Rasionalitas Ilmu Periwayatan Hadis

Benar atau tidak, akhir-akhir ini saya merasa kalau pengkaji ilmu hadis terbilang sangat sedikit jika dibanding dengan ilmu-ilmu keislaman yang lain. Seperti contoh dalam lingkungan pesantren salaf, menurut hemat saya teman-teman santri lebih cenderung kepada ilmu nahwu-sorof, ilmu balaghoh, tafsir, ilmu kalam, dan yang paling ramai dan selalu meriah adalah ilmu fikih. Tapi ilmu hadis, sangat jarang sekali. Dulu ada teman yang ingin membentuk komunitas kajian ilmu hadis kecil-kecilan, dan dia mengeluh kepada saya bahwa disamping sedikitnya anggota kajian, dia juga kesulitan menemukan rujukan yang luas yang berbicara seputar ilmu hadis. Artinya, dalam lingkungan pesantren pun dirasa sangat minimnya "dirosah" serta fasilitas berupa literatur-literatur arab yang mengarah kepada ilmu hadis.

Kalau kitab-kitab klasik seperti kutubus sittah banyak tersedia di toko-toko kitab. Tapi ya terkesan itu-itu saja. Tidak ada buku-buku lain yang sekiranya bisa menyegarkan pandangan teman-teman terhadap ilmu hadis. Bahkan seolah-seolah muncul sebuah pemahaman kalau ilmu hadis adalah ilmu yang "telah selesai". Tidak ada suatu "celah" yang sekiranya bisa memantik perdebatan atau penggalian dalam ilmu tersebut.

Yang saya maksud dengan penjelasan diatas sebenarnya mengarah kepada kontruksi sebuah ilmu, yang sederhananya ia berbiacara bagaimana ilmu tersebut dibangun dan dikembangkan. Bukan mengarah kepada hadis sebagai "matan" atau segala yang berhubungan dengan Nabi Saw seperti sabda, perbuatan dan pengikraran. 

Untuk megetahui klasifikasi hadis saja kita harus mengacu pada konsep yang sudah dirumuskan secara matang di masa klasik ( turas). Akhirnya ilmu ini dikategorisasi sebagai ilmu naqli yang hanya berkutat di dalam riwayat saja. Lantas apakah benar ketika kita hidup di masa Post-Modernisme yang cenderung menekankan rasiaonlitas dalam berbagai hal mendakwahkan bahwa ilmu hadis adalah ilmu yang irrasional? 

Kalau sebagai ilmu naqli, iya, benar. Tapi kalau disebut tidak memiliki peran rasionalitas saya kurang setuju, kalau keberatan dikatakan salah. Justru kalau kita merujuk kepada pernyataan Abu Fihr Mahmud Syakir, bahwa dalam ilmu tersebut ada sebua metode ilmiah yang tidak dimiliki dalam diskursus keilmuan manapun selain Islam, yakni metode "jarh wa ta'dil". Metode ini lahir berdasar pada asas kebudayaan Islam yang mencorakkan "kepatuhan" umat terhadap ajaran Nabi Muhammad Saw serta upaya penjagaan terhadap keautentikan ajaran sang Nabi sebagaimana yang terangkum dalam hadis-hadis beliau. 

Coba kita bandingkan dengan kebudayaan Barat-- seperti yang tergambar dalam diskursus filsafat misalnya. Sejak filsafat barat dibangun, Descartes yang dikenal sebagai bapak filsafat modern terbukti hampir menolak ajaran-ajaran para pendahulunya. Secara radikal dia menolak filsafat skolastik dan logika Aristo yang terkesan jumud. Lalu Kant yang mengritik Cogito Descartes. Kant menilai bahwa rasio yang diterapkan Descartes cenderung metafisik. Begitu juga Heidegar yang fiksafatnya dikenal dengan "Destruksi", yakni menghancurkan semua filsafat yang ada lalu memabangun kembali sistem filsafat yang baru dari awal. Aliran post-strukturalis yang menolak paham stukturalisme. Begitu Derrida yang tak jauh beda dari gurunya itu, yang dikenal memiliki paham Dekonstruksi yang benar-benar menolak kebenaran absolut. Derrida mengritik filsafat barat yang dirasa telah tersekap oleh metafisika kehadiran Aristoteles.

Siapapun yang mengkaji sejarah filsafat barat akan merasakan betapa para filosof barat diacak-acak oleh kebenaran subjektif masing-masing dan tak pernah sampai pada satu rumusan kebenaran "yang sepakat". 

Menurut hemat penulis, yang menjadi penyebabnya adalah karena mereka tidak meliki "kepatuhan" dan "penjagaan" sepertu yang ada dalam islam. Justru rasionalitas yang mereka suarakan itu tampak berbalik menjadi irrasional. Jadi dalam kebudayaan mereka memangtidak ada kebenaran absolut, yaitu sebuah kepastian keyakinan seperti yang didapat dengan kepatuhan dan penjagaan terhadap ajaran Al Quran dan Hadis dalam Islam. Oleh sebab itu, ilmu hadis yang menekankan pada sistem periwayatan yang naqli tersebut justru terasa lebih rasional dibanding rasional barat sendiri.

Dari pembahasan tersebut kita bisa menyaksikan kebenaran Firman Allah Swt:

" Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzhalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang."  (Surat An Nisa' ayat 64)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?