Sebaik-baiknya Islam

Kepikir gak sih, kalau sekarang ketika kita tumbuh cukup besar ternyata kita semakin ngerasa bahwa kemauan dan rencana kita ternyata juga tambah besar. Besar dalam arti banyak, aneh-aneh, ruwet dan cenderung rumit. Tidak seperti pas masih kecil dulu, yang tak banyak rencana, tak banyak pengaruh dan perbedaan. Dulu pas masih kecil, dalam melakukan banyak hal kita lebih tulus, polos, ikhlas dan apa adanya. Makanya apapun yang kita hadapi saat itu semuanya terkesan senang-senang dan menikmatinya. 

Itu dilihat dari sisi kehidupan yang bersifat umum. Belum kalau dilihat dari sisi yang bersifat khusus dan personal. Saya rasa semuanya sama, bahwa manusia ketika tumbuh dewasa maka mau tidak mau dia harus berhadapan segala yang bersifat prinsipil; berkaitan erat dengan pandangan-pandangan dan tujuan kehidupan. 

Maka saat itu dia akan diajak berbicara mengenai masalah-masalah yang serius seperti agama, ideologi dan politik misalnya. Dan berkaitan dengan itu semua, yang menjaga eksistensi diri kita adalah pola pikir masing-masing. Sebatas mana ia mengenali gerak-gerik nilai-nilai: benar-salah, baik-buruk, keutamaan, kebijaksanaan dll.

Dalam sebuah hadis Sohih diriwayatkan bahwa Nabi Saw pernah ditanyai: "Ayyul islam afdholu?": Apakah gerangan Islam yang paling utama?

Beliau menjawab: " Man salima al-Muslimun min lisanihi wa yadihi". Bahwa sebaik-baiknya seorang muslim adalah dia yang orang-orang muslim yang lain selamat dari mulut dan tangannya. 

Awalnya ketika membaca hadis ini saya bengong. Saya gak habis pikir kenapa beliau menjawab seperti itu. Bahwa sebaik-baiknya seorang muslim adalah orang yang selamat mulut dan tangannya. Saya berpikir: lantas apa hubungan hadis ini dengan semua hal yang saya pelajari selama ini. 

Saya lihat di atas lemari saya ada tumpukan kitab yang hampir kebanyakan berbicara filsafat, teori-teori logika dan pembahasan seputar isu-isu kontemporer, baik barat maupun islam sendiri.

Kalau memang seperti itu gambaran seorang muslim yang utama menurut Nabi Saw, lantas apa hubungannya dengan semua kajian dan pembacaan saya tersebut?  Benarkah ukuran keutamaan dalam hal agama menurut Nabi Saw sesederhana, atau bahasa liarnya "seremeh" itu?

Ternyata setelah saya renungkan berulang-ulang  kali saya sedikit paham bahwa apa yang dimaksud Nabi Saw tak sesederhana itu. 

Dalam kehidupan di era globalisasi seperti ini, tidak mudah yang namanya menjaga lisan dan tangan yang kita miliki. Seperti contoh, dalam youtube, fb, twitter dan media sosial yang lain, dengan sangat mudah kita melihat bagaimana "ujaran benci dan permusuhan" seperti air hujan yang hampir menghujani kehidupan kita sehari-hari. Video satu artis saja ketika dirasa kontroversial, bisa ribuan bahkan puluhan ribu netizen merayakan "hujatan" secara kompak dan meriah. 

Padahal itu hanya berkaitan dengan dunia metropolitan yang sebenarnya kegilaan apapun yang dilakukan oleh seorang artis publik figur tertentu tidak berkaitan sama sekali dengan kehiduoan riil kita. Gitu saja, kita gak terima. Ya, memang sekarang setiap kita hampir mau berkehendak seperti "Tuhan" yang dalam hal apapun kita bisa mengerti, lantas ingin berkomentar, ingin menilai, ingin menghakimi dan ingin semua keinginan kita didengar dan dituruti.

Apalagi kalau sudah berkaitan dengan politik. Dan isu yang diangkat berhubungan dengan perkara-perkara keagamaan. Itu rasanya orang seindonesia "kesambet", "kejinan", sampai ngomong dan berbuat yang gak karuan. Atau jangan-jangan edan beneran. Gara-gara beda politik, tak segan-segan orang mencopot gelar "keulamaan" pada ulama, status "keislaman" orang-orang yang islam, dan "mensetan-setankan" manusia, meneraka-nerakan pada saudara sebangsa dan seagama.

Jadi setelah menyaksikan itu semua, akhirnya saya bisa paham dan yakin bahwa sabda Nabi Saw itu sangatlah benar, tidak sesimpel dan sesederhana yang kita bayangkan. Karena kalau boleh saya simpulkan, bahwa segala capaian-capaian, keluhuran dan "gonjang-ganjing" kehidupan memang berasal dari sesuatu yang kita anggap simpel, remeh dan sederhana itu: lisan dan tangan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?