Catatan Singkat Saat Sedang Sakit



Sakit: bisa berarti musibah, bisa juga ujian atau anugerah. Kita semua mengetahuinya. Tapi sakit bisa juga berarti "fase", dimana seseorang merasakan keterbatasan. Terkadang yang "lebih baik" itu tidak melulu tentang kuat dan kuasa. Kita mesti sadar selama kita kuat, selain menanggung tugas-tugas, kita juga semakin dibelenggu oleh "urusan" yang kita buat dan pikirkan sendiri.

Kadang saya sendiri sadar, sekaligus jengkel betapa sebenarnya saya terlalu sibuk dengan apa-apa yang keluar dari rencana dan pikiran sendiri yang terbatas ini-- dan tak jarang "aku" menjadi budak atas ke-"aku"-anku sendiri.

Tapi Tuhan terus mengawasi kita. Dialah yang sejatinya sejati sang Pengajar alam semesta ini. Disaat manusia sudah terlampau melewati batas, dia turunkan "sedikit" rasa sakit, sebagai isyarat bahwa manusia harus beristirahat. Manusia harus memikirkan ulang apa yang sebenarnya terjadi, seberapa jauh dia telah mengikuti "diri"-nya sendiri, yang pada akhirnya dalam keadaan tertentu mau tidak mau dia harus berhenti. Jadi pelajarannya sangat sederhana, yakni tentang sebara jauh kita memiliki sudut pandang, alias kesadaran.

Melihat keadaan saya seperti ini, jadi ingat diskusi bersama teman-teman kemarin. Padahal awanya kita sedang membicarakan motodologi sejarah. Juga menyoalkan tentang mengapa dalam kesejarahan "kita" selalu ada konflik, pertentangan, peperangan, yang pastinya juga pertumpahan darah di kalangan internal Islam. Teman-teman sangat antusias menawarka ide, data, analisis dan gagasan masing-masing. Kajian terjadi sampa larut malam dan cukup menegangkan. Akhirnya sampailah kita pada sebuah pertanyaan: "lantas apa sebenarnya substansi beragama? "

Jawaban teman-teman sangat variatif, informatif, reflektif dan sangat menarik. Lalu ketika giliran saya harus "sharing" ide, terlintas dalam benak saya tentang ayat ke empat dalam surat Al Fatihah. 

Saat itu saya bilang bahwa substansi beragama ialah kesadaran seorang manusia bahwa dia sedang berada dihadapan Alloh Swt sang Pemilik kesempurnaan, kebesaran dan keagungan. Manusia sebagai makhluk yang dipenuhi kompleksitas dan keterbatasan, sepenuhnya harus tunduk atas hukum-hukum Tuhan dan tak berdaya secuil pun ketika "kelak" dihadapan pada keadilan Tuhan. 

Kesadaran semacam ini penting. Meskipun terkesan lebih mengarah pada tataran metafisis, setidaknya sebagai penunjuk bahwa manusia mempunyai tanggungan "apa-saja" yang berkaitan dengan hukum dan nilai. Seperti dalam cerita, Fir'aun konon tidak pernah sakit, sebab itu dia merasa "segala" dan tidak mengenali siapa dan apa batasan dirinya. Sebagai konsekuensi, Fir'aun merasa tuhan dan ingin menantang Tuhan. 

Begitu juga yang terjadi pada para pelopor aliran filsafat eksistensialis seperti Kierkegaad, Sartre, Heidegar, Nietzsche, karena terlalu berlebihan dalam menyuarakan kebebasan, akhirnya filsafat mereka tak lebih dari upaya penghancuran akan nilai-nilai etika, selain menolak konsep kepatuhan individual terhadap undang-undang sosial, serta menolak objektifitas ilmu pengetahuan. Beginilah jadinya kalau manusia diberi kebebasan lalu tak menyadari batas, maka dalam kehidupan tidak ada hukum dan kebenaran yang absolut. Kalau dunia dipenuhi hal-hal semacam itu, yang terjadi hanyalah chaos. Atau memang demikian kiranya cara kerja malapetaka akhir zaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?