Eksklufitas

Ingat dulu pas di pondok. Kata Mustahiqku (panggilan untuk ustadz di pondok) :

"Ilmu yang kalian dapat di dalam kelas itu hanya 30 persen. Selebihnya tergantung seberapa kalian mengembangkan diri di luar kelas."

Begitu juga didikan orang tua. Untuk memahami apa yang diajarkan di sekolah (saat itu masih SD), dulu seringkali orang tua saya membelikan buku-buku di toko buku yang kira-kira tebalnya tiga sampai lima kali lebih besar dari buku pelajaran yang diajarkan di sekolah. Sambil menggembala kambing saya sering membawa buku-buku tersebut karena dituntut oleh orang tua untuk dikhatamkan. Lalu kalau sudah khatam dibelikan lagi begitu seterusnya. 

Dan sekarang di Azhar, yang tak henti-henti ditekankan oleh Masayikh dan Para Duktur adalah membaca dan membaca. Untuk tahap seorang pengkaji keilmuan, selain perlu akan bimbingan, kita juga harus membaca, mencari dan menghayati segala hal. Baik itu  penikiran-pemikiran yang bersifat "dalam", atau "luar". Dengan demikian, kita akan benar-benar sampai pada pemahaman atau kebenaran yang benar-benar yakin, dan tidak ikut-ikutan.

Diantara yang sangat mempengaruhi pikiran saya adalah pernyataan Syekh Abu Musa ini: 

"Andaikan Iblis itu punya kitab, maka saya akan membacanya."

Kalau ada yang bertanya mengapa Syekh berkata demikian, apa sebenarnya yang dikehendaki oleh beliau? 

Maka saya akan menjawab, bahwa yang dikehendaki beliau adalah "kebebasan seorang pembaca". Pembaca itu tidak musti mengikuti apa yang ia baca. Pembaca juga tidak harus menerima dan membenarkan pikiran seorang penulis. Tapi yang harus dilakukan seorang pembaca adalah mengkaji apa yang ia baca, dan mendiskusikan pikiran seorang penulis dengan dirinya sendiri. Karena dengan demikian, dia akan menemukan kebebasan (ikhtiar), karena dengan kebebasan itulah seseorang akan mendapat adzab atau imbalan pahala dari Tuhan.

Tapi permasalahannya, ketika seseorang hanya senang bergerak di-"dalam" pikirannya saja, maka dia tidak mau membaca selain kebenaran yang kadang hanya berupa "anggapan" saja. Dan seringkali ekskulusifitas semacam itu terkesan memperbudak-- baik kepada dirinya sendiri atau kepada yang lain dengan tidak membrikan kebebasan yang sepatutnya dimiliki oleh setiap manusia. Dan sialnya, hal seperti itu jutru malah menjadi peraturan dalam sebuah negara. 

Dilihat dari sudut pandang manapun, eksklusifitas akan senantiasa membiaskan kekerdilan, ketakutan, ketidakmerdekaan, kejumudan-- atau setidaknya, ia merupakan lambang dari egoisme dan fanatik buta.

Rupanya setelah melalui berbagia peristiwa penting dalam kehidupan sosial kita akhir-akhir ini, mau tidak mau kita menjadi sadar bahwa masalah-masalah tersebut bermula dari kurangnya kesadaran satu sama lain. Kita ngotot dengan pendapat masing-masing. Coba bayangkan saja, masak gara-gara beda politik saja, "kemarin" kita sangat mudah dipecah-pecah. Inti masalahnya sama, kita tida begitu pintar dalam memahami pendapat dan pilihan masing-masing.

Menurut saya, kehidupan sosial kita saat ini secara tidak langsung menunjukkan "watak" intelektual bagsa kita. Wajah sosial yang dipenuhi konflik sebab tak mampu memahami perbedaan, adalah gambaran betapa "kerdil" dan sempitnya ruang pikiran kita. 

Jadi bagi saya, kemajuan dan kesejahteraan itu tidak cukup diiming-imingi dengan formalitas insfratuktur saja. Tapi juga sangat berkaitan erat dengan keterbukaan dan keluasan alam pikiran masyarakat kita. Dan itu bisa kita mulai dengan kesadaran membaca. Karena kalau boleh saya katakan, bagi saya, membaca adalah keluasan serta kemerdekaan hidup itu sendiri.


 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?