Warisan Turos Abdul Qahir Al Jurjani

Membaca tulisan Syekh Abu Musa dalam majalah Azhar edisi september kali ini membuat saya sadar, betapa keluhuran warisan ilmu para pendahulu menandakan kebijaksanaan mereka dalam menyikapi perbedaan.

Seperti dalam tradisi ilmu ma'ani wa bayan, Abdul Qahir Al Jurjani (400-471 H) misalnya, meskipun bermadzhab Asy'ari beliau tidak segan untuk membaca turats Al Jahidz, seorang ulama fanatik madzhab muktazilah. Meskipun mempunyai perbedaan dalam ranah teologis, Abdul Qahir mengakui bahwa apa yang ia baca dan ia temui dari Al Jahidz adalah semacam "isyarat-isyarat" dan "simbol-simbol" yang pada akhirnya beliau rumuskan dan konsepsikan dalam dua kitab Magnum Opusnya: "asror Al balaghoh" dan "dala'il i'jaz".

Lalu setelah masa Abdul Qahir, munculah seorang ulama yang pakar dalam tafsir. Dia adalah Imam Az-Zamakhsyari (467-538 H). Waktu itu beliau seolah-olah merasa tidak cukup dengan kajian tafsir di masanya yang hanya dipenuhi analisis-analisis ilmu nahwu, linguistik, dan petuah-petuah bijak yang cenderung normatif. Az Zamakhsyari menginginkan lebih. Akhirnya dia mengkaji turots Abdul Qahir Al Jurjani dan berhasilkan memasukkan ilmul ma'ani wal bayam ke dalam tafsirnya dan menjadikan ilmu paramasastra tersebut sebagai metode untuk menguak rahasia-rahasia dalam ayat-ayat Al Quran.

Tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah Az Zamakhsyari, munculah seorang Ulama sekaligus filsuf besar yang dikenal sebagai "al mausu'i", yakni ulama yang menguasai beberapa fan keilmuan Islam. Beliau adalah Fakhruddin Ar Razi (544-604 H). Ar Razi yang getol mengkampanyekan madzhab Asy'ari yah ini sangat terpengaruh dengan pemikiran Az Zamakhsyari.  Tafsir mafatihul ghoib yang ia tulis terlihat sangat jelas mengikuti dan merujuk kepada "al Kasyaf" karya Az Zamakhsyari. Dalam menafsirkan ayat :


الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ

[Al Ghafir: 7]

Az Zamakhsyari berpendapat bahwa kata يؤمنون به yang disandangkan kepada para  malaikat itu sebenarnya mereka tidak sedang melihat Robnya. Justru Alloh Swt menisbatkan keimanan kepada para malaikat itu sebagai pujian kepada mereka. Dan menurut Az Zamakhsyari, keimanan memang tidak mendapatkan pujian melainkan karena adanya keimanan tersebut akan perkara yang gaib. Mengenai ini, Ar Rozi memberi catatan: " Andaikan dalam kitabnya (al kasyaf) tidak ada penafsiran apapun selain ini, maka itu sudah menyukupinya." Pernyataan tersebut sebagai bukti, betapa Ar Razi sangat mengagungkan sosok Az Zamakhsyari.

Selain Imam Zamakhsyari, Ar Razi juga sangat terpengaruh dengan Abdul Qahir Al Jurjani. Ar Razi mengkaji kitab-kitabnya Al Jurjani lalu meringkas dan mengarang beberapa kitab yang berkaitan dengan ilmu ma'ani wa bayan. Dan yang sezaman dengan Ar Razi adalah Abu Ya'kub As Sukaki (626 H). Pada As Sukaki inilah pemikiran-pemikiran dari Al Jurjani,  Al Zamakhsyari, sampai Al Razi dirumuskan dan dibakukan dalam karya monumentalnya "Miftah al 'Ulum". Al Sukaki menyebut ilmu yang ia sarikan dari ketiga ulama besar tadi dengan istilah "Ilmu al Ashhab". 

Lalu dari kitab miftah al ulum inilah Khatib Qozuwaini menyarikan (mentalkhish) beberapa teori yang berhubungan dengan ilmu ma'ani wa bayan dalam kitabnya yang sangat terkenal berjudul "talkhish". Saking berpengaruhnya kitab ini sampai banyak para ulama yang menulis komentar (syarh) dan catatan (hasyiyah). Adapaun syarh yang paing terkenal adalah karya Imam Taftazani yang berjudul " Al Muthowwal". Dan kitab ini pun sangat fenomenal sehingga banyak sekali yang menulis catatan atas kitab tersebut. Yang paling terkenal adalah hasyiyah karya Sayyid Syarif Al Jurjani. Tidak hanya itu, Imam Taftazani juga meringkas kitab mutawwalnya menjadi "mukhtashor". Begitu juga Khatib Qozuwaini yang memperluas kitab talkhisnya menjadi kitab "Al Idhoh".

Dari penjelasan tadi kita bisa mengambil pelajaran bagaiamana cara ulama menyikapi sebuah perbedaan. Kita tahu bahwa diantara ulama banyak sekali perbedaan, baik itu dalam bidang fikih, nahwu shorof sebagaimana yang terjadi diantara kalangan ulama Bashroh dan Kufah, bahkan dalam ranah ushuluddin sekali pun. Tapi meskipun ada perbedaan, yang mereka ajarkan ialah pembacaan yang kreatif dan penyikapan yang arif. Akhirnya kita sadar bahwa kitab-kitab seputar nahwu, tafsir dan balaghoh yang sampai kepada kita ini ternyata melalui perkawinan antara teologi asy'ariyah seperti Al Jurajani, Ar Razi, Al Taftazani dll dengan madzhab muktazilah seperti Al Jahidz dan Al Zamakhsyari. 

Dari semua ini, sebagaimana yang diajarkan Syekh Abu Musa, setidaknya kita menjadi yakin akan kebenaran sabda Nabi Saw: "ikhtilafu ummati rohmatun" : bahwa perbedaab Umat Muhammad adalah rahmat, lambang kasih sayang, bukan untuk saling melempar batu, mengancam, mengintimidasi, apalagi menyesat-nyesatkan kepada siapa saja yang berbeda dengan kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?