Praktik Tajdid Ala Toha Abdurrahman

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Hakim diceritakan bahwa suatu ketika Umu Salamah Ra bertanya kepada Rasululloh Saw: " wahai Rasululloh Saw, aku tidak mendengar sama sekali bahwa Alloh Swt menyebut sesuatu tentang perempuan dalam berhijrah." 

Sebab pertanyaan tersebut, lalu diturunkanlah ayat: 

" Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sebagai pahala dari Allah. Dan di sisi Allah ada pahala yang baik.” ( Surat Ali 'Imran: 195)

Lalu dalam riwayat lain oleh Imam Hakim, Ummu Salamah Ra. berkata: " Aku berkata: wahai rosululloh engkau telah menyebut laki-laki saja, da engkau tidak menyebut perempan." Lalu turunlah ayat: 

"Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar." (Surat Al Ahzab: 35)

Juga surat Ali 'Imron ayat 195 seperti diatas. 

Setelah membaca hadis ini, saya menjadi teringat pemikiran Toha Abdurrhman, seorang Filosof Islam kontemporer asal Maroko yang sangat saya kagumi, mengenai konsep "tajdid at-turats" (pembaharuan turos). Kata tajdid yang secara harfiah bermakna pembaharuan, sebenarnya mempunyai muatan makna yang kompleks. Dalam arti, perihal pembaharuan terhadap turos, terdapat ketidaksepakatan diantara para cendikiawan Islam tentang "apa makna", dan "bagaimana seharusnya" pembaharuan itu mungkin dilaksanakan. Tidak sebatas itu saja, bahkan sampai ada "tindak" permutadan terhadap pola pikir tertentu dalam urusan ini.

Kalau memang benar, tajdid melulu diartikan sebagai sebuah proyek intelektualitas keagamaan yang positif, lantas mengapa sampai ada perselisihan yang kuat diantara para pakar. Dan kalau kita cermati dalam literatur arab kontemporer, pembahasan ini begitu ramai dibicarkan terus menerus seolah tidak pernah habis. Diantara yang memberikan penyegaran terhadap wacana tersebut adalah Toha Abdurrahman. 

Dalam pandangan beliau, pengertian tajdid itu tidak sesederhana "yujaddidu at-turos" secara langsung. Tapi lebih ditekankan pada sisi "alaqoh" berupa "nadzor" yang beperan sabagai gerak-esensial dalam suatu proses pembaharuan. Dengan pemknaan seperti ini, maka "tajdid-nadzor-turos", adalah proses pengulangan pandangan teoritis terhadap turos (i'adat an-nadzor fi at-turots), yang mengadaikan wujud kerja teoritis yang baru, yang tidak sama atau mengulangi yang "sudah ada".

Secara mekanisnya tajdid turos itu bukanlah "fiqhu at-turots", karena disini turos diposisikan sebagai objek secara langsung, melainkan yang tepat adalah "fiqh an-nadzor fi at-turots", yang juga memberikan konsekuensi berupa " nadzor 'ala an-nadzor", atau "nadzor fi an-nadzor". 

Dari sedikit penjelasan diatas, bisa diambil pemahaman bahwa visi utama suatu pembaharuan adalah menghadirkan pembacaan teoritis yang baru terhadap turos. Tidak boleh ada pengulangan, dan menguak sisi-sisi yang belum tersentuh atau terbakukan dalam kajian-kajian sebelumnya. 

Kembali ke awal, lalu apa hubungannya konsep tajdid dengan hadis diatas tadi. Jadi seperti ini, hadis Ummi Salamah di atas dalam diskursus ulumul quran, spesifiknya dalam bab "asbabun nuzul", oleh para ulama dijadikan sebagai argumentasi atas legalitas banyaknya ayat yang diturunkan walau hanya memiliki satu sebab saja. Yaitu diturunkannya ayat dalam surat Ali Imron dan Al Ahzab tersebut ternyata mempunyai satu sebab saja, yakni pertayaan Ummu Salamah Ra. 

Dalam Ulumul Quran, hadis Ummu Salamah tersebut dijadikan sebagai pembentuk teori asbabun nuzul, itu saja. Padahal dalam konteks kekinian, bisa saja hadis tersebut diindikasikan sebagai benih-benih wacana feminisme dalam Islam. Ternyata dalam Islam juga ada nilai-nilai kesetaraan hak, serta keadilan yang sama terhadap kaum perempuan. Dan secara jelas, memberikan penegasan bahwa agama ini tidak hanya berputar dalam urusan-urusan patriakhal.

Memang ada perbedaan yang signifikan antara kajian dulu dan sekarang. Memang dulu belum ada wacana seperti feminisme. Wacana ini baru lahir di masa pasca-pencerahan dan dipelopori oleh Mary Wollstonecraft, yang memang pada masa itu memberi corak yang dominan atas wacana-wacana humanistik seperti common sense misalnya. Terlebih desakan terhadap pihak gereja yang dianggap telah berbuat dzalim terhadap kaum hawa sepanjang abad pertengahan. Maka feminisme yang disuarakan pun cenderung menolak apapun yang bersifat otoritatif dan memerugikan wanita, semuanya aka ditentang, sekalipun itu berupa doktrin keagamaan.

Sedangkan, jauh sebelum feminisme disuarakan oleh barat, ternyata sudah tergambar secara jelas nilai-nilai tersebut dalam ajaran Islam. Namun belum tersistematis seperti sekarang. Karena bagaimanapun, terdapat perbedaan yang sangat esensial antara keduanya. Tapi justru itulah tugas sebuah kajian ilmiah. Ia harus senantiasa bergerak, kreatif dan aktual.
 
Sebagaimana pemaknaan tajdid diatas, maka upaya menyegarkan kembali pengkajian turos adalah amanah yang harus dilestarikan oleh setiap generasi penerus.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?