Suatu Kewajaran

Di suatu kafe, ada seorang gadis kecil, bersepatu mungil, kerudung merah yang cantik dengan sebuah balon di tangan kirinya, datang menghampiriku yang sedari tadi duduk sendirian. Aku tahu maksudnya-- dan kalian yang ngafe di beberapa tempat di kawasan Kairo pun pasti tahu apa maksudnya. Kadang anak kecil, ibu-ibu, atau seorang tua renta. Setahuku, kebanyakan mereka adalah dari kalangan perempuan. 

Mereka tidak menuntut banyak. Cukup satu le (kurang lebih satu ribu rupiah) atau dua le saja dari pengunjung kafe, mereka sudah senang, dan segera beranjak pergi dari hadapan kalian. 

Lalu anak kecil tadi, awalnya saya gak mau kasih. Dia terus memelas, sambil mengucapkan kata-kata yang menyedihkan. Saya tetap gak mau ngasih, dia pun pergi. Setelah beberapa langkah dia menjauh, saya pun memanggilnya kembali. 

Ya, setiap kali mendapatkan moment seperti itu, saya harus berdamai dengan diri saya sendiri: menyelesaikan persoalan dilematis. Satu sisi, tidak senang dengan perbuatan yang ia lakukan: mengemis.Tapi sisi yang lain, siapa yang tega menyaksikan seorang anak kecil harus meminta-minta seperti itu. Apalagi kebanyakan "mereka" adalah perempuan. Dan saya sendiri punya kakak dan adik perempuan. Di malam hari apalagi musim dingin seperti ini, seharusnya mereka sedang asik dirumah. Entah bermain, belajar, nonton tv (sekarang yutuban) atau apalah, yang pasti diam di rumah dalam suasana yang hangat bersama keluarga.

Bagi kita mengemis adalah kesalahan. Tapi bagi pelakuanya, itu adalah salah satu bentuk upaya mengisi ruang kehidupan. Bisa juga diartikan sebagai "ketepatan",  -- setidaknya ia tudak mencuri, juga tidak sedang berbuat kriminal, atau yang lebih parah, tidak menjual diri. 

Memang meminta-minta itu tak ubahnya dari bentuk perendahan diri secara non-formal, tapi tidak juga sampai "kehilangan" diri secara total. 

Barangkali perihal mengemis adalah tentang ketidakberdayaan seseorang  atas peluang, atas fakta kehidupan ang seringkali dipenuhi oleh keberpihakan.

Ya memang benar, jika ada banyak hal yang mungkin dikerjakan dan mengahasilkan di dunia ini. Tapi itu bagi orang yang mempunyai "kecukupan mental", atau setidaknya memiliki "bekal hidup" yang normal. Seperti lingkungan, pendidikan dan latar belakang keluarga yang normal.

Lantas bagaimana kalau seseorang memang dilahirkan oleh dan untuk menjadi gelandangan. Yang secara naluri pasti mewarisi mental "yang termarjinalkan"; kesadaran bahwa orang seperti dirinya adalah "musuh" bagi lembaga-lembaga pendidikan. Kalau sudah seperti itu, gak usah ngomong skill, lapangan, peluang pekerjaan dll. Tidak menjadi pencuri saja sudah bagus.

Jadi menurut saya, anak gelandangan lalu menjadi pengamis, dalam bingkai mekanisme sosial, itu hal yang masih wajar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?