Cukup Berilmu, atau Harus "Ngustadz"

Tak seperti biasanya. Saya lebih sering menghabiskan waktu-waktu saya di warung kopi ketika malam hari. Kadang sampai tengah malam, kadang juga begadang, hingga menjelang subuh baru pulang. Tapi hari ini masih pagi-pagi sekali sudah beraktifitas dan ngopi.

Seorang karyawan yang bekerja di kafe datang. Sedikit berbasa-basi dan menanyakan apa pesanan saya. Setelah memesan, dia pun melanjutkan pekerjaannya. Karena masih pagi sekali, dia pun bersih-bersih sambil mondar-mandir merapikan kursi.

Saya dan teman saya tidak begitu peduli. Fokus saja dengan kerjaan masing-masing. Selang beberapa waktu, karyawan tadi datang. Berdiri mematung di samping kami. Lalu ngomomg, " itu apa? ", dia menanyakan buku yang tergeletak di samping kopi yang ada di meja kami. "Buku mantik", jawabku. Dia tersenyum sambil bilang, "sudah lama sekali aku gak baca itu". 

"Serius kau dulu baca ini? ".

"Iya beneran. Aku juga kuliah di Azhar jurusan syariah dan lulus tahun dua ribuan."

Sambil mengeteng kursi dan berjalan pelan dia berusaha menunjukkan hafalan pelajaran yang masih dia ingat. Sebagai bukti kalau dia memang pernah belajar. Sambil menyeruput kopi, saya dan teman saya ketawa sendiri. 

"Kamu hafal al quran berapa juz, ada lima juz? " dia bertanya lagi.

 "Enggak, saya gak hafal, paling sedikit dari surat Al Baqoroh" saya becanda.

Lalu dia membacakan sebuah ayat dan menyuruh kami untuk melanjutkannya. 

"Lho kamu juga hafal quran? " kataku sambil ketawa ringan.

"Iya, saya sudah khatam hafal al quran sejak tsanawiyah ( jenjang sebelum masuk kuliah azhar)."

Sampai disitu percakapan kita selesai. Dan saya melanjutkan aktifitas ngopi saya kembali, yang pasti dengan sedikit kesan unik: " lulusan Azhar S1 plus hafal quran tapi jadi karyawan kafe! "

Setahu saya, orang yang hafal al quran serta mempunyai kecakapan dalam ilmu-ilmu bahasa itu kalau di Indonesia pontensial sekali untuk membangun pesantren. Kalau tidak, minimal jadi kyai di kampunglah. Itu cukup berdampak dalam setatus sosial. Dan fakta demikian sangat bertolak belakang dengan realita profesi "pekerja" di sebuah kafe.

Namun dalam perspektif yang lain, apa sih yang tidak mungkin di dunia ini. Faktanya, hidup memang punya banyak sis ang komleks. Tidak cukup mengandalkan kecakapan "logical", dibutuhkan pula kecukupan mental serta adanya keberanian untuk bereksperimental. 

Selanjutnya, setelah saya cari-cari titik poinnya, masih belum saya dapatkan, apa masalah dari bapak-bapak tadi. Apa konsekuensi negatif dari menjadi penjaga kafe bagi seorang pelajar lmu agama? Gak ada, kecuali bagi orang yang mengganggap agama sebagai profesi. Dalam konteks ini, orang seperti itu pasti merasa "dirugikan". 

Apa benar ahli ilmu agama selamanya harus "ngustadz"? Atau dalam sudut pandang yang lain, benarkah seorang 'alim harus jadi orang kaya, setidaknya jadi boslah? Minimal enggak jadi pekerja atau karyawan. Karena itu terkesan murahan, atau kurang bermartabat. 

Menurt saya persoalan ini cukup mendasar. Semuanya kembali pada pemahaman apa itu "esensi" ilmu agama dan bagaimana kita mengobjektifikasi ilmu itu sendiri. Jadi selama sebuah ilmu meruang pada tempat dan posisi etis masing-masing, baik personal(antara dirinya dan Tuhan) ataupun sosial (dirinya dan manusia), jadi tidak ada masalah jika seseorang yang berilmu tadi mengeksplorasi dirinya sendiri. Sekalipun ia keluar dari mitos masyarakat: bahwa seorang pencari ilmu agama harus "ngiyahi" atau "ngustadz".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?