Pertemuanku Dengan Fushus al Hikam

Pertemuanku Dengan Fushus al Hikam

Dua hari ini saya merasa ada yang kurang dalam hidup saya.  Saya tidak berjumpa lagi dengan "fushus al hikam"  Muhyiddin Ibnu Arobi.  Saya tidak memiliki bukunya, dan buku sebelumnya yang saya pinjam dari teman saya harus saya kembalikan karena bagaimanapun saya menggemari membacanya, saya sadar itu bukan buku saya. 

Meskipun buku pinjaman, saya tetap bersyukur karena sudah membacanya sampai khatam. Dan sebenarnya niat hati ingin mengulangi terus seperti "wiridan", yakni dengan satu hari satu fasal seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya. 

Sebenarnya saya sudah mendengar nama Ibnu Arobi sejak di pesatren dulu, atau malahan ketika di rumah, berarti saat itu saya masih belum berangkat ke pesantren. Tepatnya dari menguping tanpa sengaja dari percakapan orang tua saya dengan beberapa kerabatnya. Mengenai bagaimana jelasnya,  dan persisnya isi pembicaraan tersevut saya agak lupa, terdengar sedikit agak remang-remang. Tapi bukan teks  fushus al hikam yang saya dengar saat itu, melainkan teks futuhat al makiyyah. Baru belakngan ketika saya sudah di pesantren, baru orang tua saya mulai menyebut teks tafsir Ibnu Arobi.

Kalau ditanyakan kepada saya apakah saya paham membaca buku masterpiece Ibnu Arobi tersebut? Jelas tidak. Saya sadar betul tentang kapasitas diri yang sungguh awam dari segi pengetahuan dan kotor dari sisi kelakuan. Tapi ada satu hal yang terus mendorong diri untuk berusaha mendekati Ibnu Arobi melalui wejangan-wejangan yang ia tuangkan dalam fushus al hikam tersebut. 

Entah mengapa hati saya begitu tergerak untuk menyelami isi-isi fushus al hikam-- saya tidak menyebutnya pemikiran sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Arobi sendiri bahwa keterangan-keterangan dalam bukunya tidak berasal dari nalat (nadzor) melainkan dari rasa (dzauq) dan ketersingkapan (kasyf). Jadi meskipun secara porsi pemahaman saya terhadap teks tersebut masih secuil, gitu pun saya tidak langsung mengakui kebenarannya, tapi saya tidak begitu merisaukan itu. Intinya saya ingin mendalaminya karena saya mencintainya.

Barangkali atas dasar cinta dan tabarrukan saja sudah cukup bagi saya untuk melakukan sebuah aktifitas apapun. 

Emha Ainun Najib juga mengatakan demikian, bahwa dalam bekerja tak perlu merisuakan hasil, tetapi cukup, dan bahkan harus melandasinya dengan ketulusan mengabdi di jalan Alloh Swt.

Hal ini senada dengan akidah asy'ary tentang konsep sifat jaiz (kewenangan total) Tuhan. Bahwa hukumnya sah bagi Alloh Swt menghukum orang yang berbuat saleh, pun sebaliknya mengganjar orang yang berbuat buruk. Ini dalam konsep muktazilah tidak benar, karena bagi mereka hal semcam itu merupakan "tindak ketidakadilan". 

Tapi pengertian atas keadilan itu sendiri berbeda antara Asyairoh dan Muktazilah. Bagi Muktazilah yang sikap adil diukur dari baik-buruknya sebuah tindakan, dan yang mentukan keduanya tersebut adalah akal. Berbeda dengan Asyairoh yang mengartikan kedilan sebagai tindakan meletakkan sesuatu pada tempatnya. 

Ketika makhluk diciptakan oleh Alloh Swt, maka yang memiliki hak prerogratif sepenuhnya ya hanya Alloh Swt, bukan makhluk, kita, akal dan lain sebagainya.

Dari sini terlihat bahwa konsep akidah Asy'ary lebih luas dalam memahami Tuhan, artinya kita tidak berhak membatasi kebesaran dan kekuasaan Tuhan.

Apa yang tertangkap oleh indera manusia dan terpikirkan dalam akal budi, maka Alloh Swt lebih besar dan lebih luas dari itu.

Kalau kita melihat Ibnu Arobi dalam fushus al hikamnya, maka akan sering kita jumpai makna keluasan-keluasan seperti ini. Seringkali setelah menjelaskan ajaran-ajarannya dalam pembahasan tertentu, ia menegaskan   " hal ini bukanlah yang berasal dari nalar, melainkan hanya bisa dicapai dengan rasa/kasyf".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?