Belajar dari Butet Kertaradjasa



Saya sangat bersyukur karena Indonesia memiliki konten youtube yang menurut saya sangat berkualitas, yaitu humor sufi. Mulai dari hostnya yang diperankan oleh Gus Candra, seorang budayawan, agamawan, sekaligus penulis yang sangat bertenaga, selanjutnya co-host yang diisi oleh pakde Prie GS, budayawan dan penulis juga yang menurut saya pikiran-pikiran beliau sangat menyegarkan, solutif, dan sangat membangun. 

Saya tidak pernah bosan mengikuti setiap episode yang dihadirkan oleh beliau-beliau itu. Di tambah nara sumber yang keren-keren selalu memberi khazanah kearifan sesuai pakemnya masing-masing. 

Pada episode terbaru yang menjadi tamu undangan adalah seorang aktor terkenal sekaligus jurnalis senior bernama Butet Kertaradjasa. Dari beliau saya mencatat banyak hal berkaitan kesenian, keaktoran, dampak-dampak positif dari pekerjaan yang dilakukan dengan senang hati dan tanpa pamrih, proses seorang jurnalis, dan lain-lain. 

Tapi ada satu hal yang paling menarik perhatian saya. Yaitu pernyataan Butet Kertarajasa ketika pilih meninggalkan bangku kuliah dan tidak menyelesaikan skripsi karena harus mempelajari hal-hal dasar berupa pengutipan tehadap pendapat orang lain. 

"  Ngapain aku harus ngikutin pikiran orang lain wong aku yho nduwe pikiran kok...tulisanku wis dimuat nang kompas kok, wis iso komunikasi karo masyarakat kok kon ajar soko nol, ngutip pendapat uwong sek untuk berpendapat dirinya..." 

Pernyataan semacam ini bagi saya sangat istimewa, dan mengagumkan. Bahkan ia tak ragu untuk mengatkan bahwa "njiplak" adalah penyakit dunia akademik. Terlepas dari soal benar-salah dan perlunya seseorang belajar secara linier sesuai disiplin keilmuan tertentu. Memang dalam skala tertentu tidak mungkin seseorang mampu menerapkan prinsip semacam itu, khususnya dalam ranah ilmu-ilmu agama, kecuali orang-orang yang sudah mencapai kapasitas tertentu.

Tapi bukan itu yang saya tanggapi, melainkan lebih pada "sikap optimistis" seorang pembelajar; keberanian membangun gagasan sendiri yang lebih otentis. Perasaan penuh optimis meniscayakan sebuah aktifitas kerja apapun dalam khidmat dan penuh kesadaran. Bagi saya, kerja-kerja kreatif selalu berangkat dari sikap yang demikian. Bahkan sekarang persoalannya: seringkali buku-buku atau-ide yang kita pelajari sekian lama dalam bangku sekolahan itu membuat kita semakin "terasing" dari kehidupan nyata. Kita lupa bahwa gagah-gagahan dengan pikiran orang lain lebih mengesankan sifat kekanak-kanakan. Tapi hal sacam itu tidak berlaku dalam semua diskursus; memang ada ruang pembahasan tertentu yang kita harus tunduk pada pihak yang punya otoritas, seperti dalam diskursus  keagamaan, sains, kedokteran atau yang lainnya. 

Akan tetapi jika menyangkut soal kebermasyarakatan, kesenian, kesusastraan, kebudayaan, kebangsaan dan kenegaraan kenapa harus membebek pada pikiran orang lain. Saya rasa ruang-ruang semacam ini justru harus diperankan secara aktif oleh kita sendiri, karena yang sedang menjalani ruang-ruang tersebut adalah diri kita, bukan orang lain. Kalau kita tidak mengasah kemampuan intuisi kita, ya dalam sastra kita lemah. Kalau kita tidak berpikir kreatif ya kita tidak bakalan punya karya-karya seni. Kalau kitanya sebagai rakyat, serta bagian dari masyarakat yang memiliki tradisi dan budaya yang khas memegang nilai-nilai luhur ternyata belepotan dan tidak becus melaksanakan tugas-tugas tersebut ya yang berhak diadili ya kitanya, bukan orang lain. 

Ngapain ngikut pikiran orang lain kalau masih bisa menyuarakan pikiran sendiri. Tentunya dengan dibarengi kesadaran, ambisi yang positif, kerja keras, serta totalitas proses pembelajaran. Barangkali jika model prinsip seperti ini bisa kita hayati sebagai spirit kehidupan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa soal-soal krisis dalam bentuk apapun dengan mudah kita atasi dan selesaikan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?