Apakah Agama itu Sederhana?



Kita tahu, ketika melihat sejarah, yang bercerita tentang pertumpahan darah, tak jarang agama dilibatkan dan dibawa-bawa. Dalam Film Viking misalnya, di sana kita melihat beberapa pertempuran yang seolah sama-sama mewakili agama, satu pihak "atas nama Odin", dan pihak lawan mengatakan "atas nama (tuhan) kristen". Padahal ada yang musti kita curigai, agama tak sepenuhnya menjadi motif tunggal dalam kejadian sejarah tersebut, unsur kepentingan dan kekuasann justru memiliki porsi yang lebih dominan. Begitu juga peristiwa teror yang terjadi--setidakny dalam dua dasawarsa terakhir-- akhir-akhir ini, juga kekerasan identitas yang sering menyatut label "Islam", padahal kita tahu Islam (sebagai ajaran) sendiri sejak kapan arif dengan kekerasan dan kemungkaran semacam itu?
Barangkali demikian cara sejarah memberi kesimpulan: antara " agama" dan "yang beragama" musti diberi jarak-- dua hal yang kadang menyatu, tapi seringkali ia tak menyatu, dan tak bisa disebut "satu".
Tapi dalam konteks kebudayaan, agama sangat berperan dalam membentuk ruang gerak kehidupan. Mahmud Syakir, seorang cendikiawan Mesir pernah mengatakan dalam risalahnya yang masyhur, "risalah fi at thoriq ila tsaqofatina", bahwa "agama ialah kepala dari segala kebudayaan". Artinya, sebuah kebudayaan merupakan perwujudan eksternal dari ajaran-ajaran yang berperan sebagai potensi internal.
Apa yang dikatakan Mahmud Syakir tersebut tidaklah berlebihan. Faktnya, tradisi keilmuan Islam sepanjang sejarah telah mewariskan bangunan pegetahuan yang menakjubkan, dan tidak bisa dipungkiri telah menyumbang kemajuan sains dan teknologi seperti yang kita rasakan saat ini. Yang menjadi inspirasi pertama terbentuknya budaya Islam begitu dinamis adalah Al Quran, sebagai kalam Tuhan, dan sunnah Nabi Saw.
Misalnya dalam ilmu kalam. Kalau kita lihat mengapa ilmu ini mendapat perhatian begitu besar dari umat seperti yang kita lihat dalam sejarah? Karena jelas di antara visi misi al quran adalah menancapkan pilar-pilar ketauhidan dalam kesadaran umat manusia. Sekalipun ada muatan-muatan politis yang terlibat di sana, tetapi lagi-lagi tak lepas dari spirit ideologis firqah-firqah umat yang berangkat dari penafsiran atas agama.
Jelas sekali unsur kecintaan pada agama menjadi pemantik gerak budaya yang menyejarah itu. Pada mulanya umat islam berbicara soal-soal ketuhanan terfokus pada teks, tapi setelah buku-buku filsafat di luar Islam mulai diterjemahkan, maka mau tidak mau sebagaian umat Islam melibatkan diri dalam dialektika yang lebih luas, demi membela akidah islam dari serangan syubhat-syubhat yang membahayakan umat. Itulah yang membedakan corak ilmu kalam degan metafisika dalam kajian filsafat. Sebagai yang diterangkan oleh Ibnu Khaldun dalam mukaddimahnya, bahwa ilmu kalam memmbincangkan "maujud" sebatas ia berkaitan dengan "Ilah", Tuhan, Allah. Sedangkam metafisika membincangkan maujud sebagai dirinya sendiri. Tapi tidak bisa dipungkiri, dialektika itulah yang menyebabkan terjadinya perkwaninan keilmuan antara islam dan filsafat Yunani. Al Ghazali sampai disebut-sebut orang yang berjasa penuh-- sekaligus yang harus bertanggung jawab menurut pihak lain-- karena telah memasukkan logika Aristoteles kepada diskursus keilmuan Islam.

Di sini kita melihat agama begitu mengagumkan. Tapi dalam sudut pandang yang lain, agama disikapi tak begitu "wah" dan terkesan kurang memuaskan. P. A. Van der Weij dalam bukunya " Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia", yang dialihbahasakan oleh K.Bertens menyinggung agama dengan cemberut. Tepatnya saat membicarakan sebuah tema: Manusia dan kemungkinan ultimnya. Untuk mencari makna/arti kehidupan---begitulah pikiran Van der Weij-- mula-mula manusia harus mengetahui kemungkinan ultim kehidupannya. Setidaknya itu bisa ditemukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan: " apa arti kehidupan itu, apakah nilainya, dan bagaimana saya dapat mengerti dan mengungkapkannya? " Selankutnya " di mana kehidupan itu akan berakhir, apakah tujuannya, dan apakah peruntukannya?"
Namun untuk mendapat jawaban-jawaban itu, kita dituntut untuk mencarinya kepada para ilmuwan dan filsuf. Mengapa harus filsafat, kenapa tidak kepada agamawan, apakah agama juga belum siap --kalau tidak dikatakan belum mampu-- soal-soal tersebut? ya, agama memiliki jawabannya, tapi bagi Van der Weij, jawabamnya terlalu " sederhana", artinya kurang melambangkan "keberpendidikan".
Ia mengatakan; " untuk mendapat jawaban atas pertanyaan itu, seorang beragama yang sederhana mungkin hanya akan mencari dalam apa yang dikatakan oleh agamanya. Orang beragama yang berpendidikan akan minta juga pandangan ilmu pengetahuan dan fiksafat, sedangkan orang yang tak beragama akan mencari jawabannya hanya dalam ilmu penhetahuan dan filsafat. "
Jelas sekali bagaimana kita melihat porsi agama dalam pa. dangan Van der Weij pertama-tama cukup diwakilu dengan kata "hanya", tak lebih dari itu. Selanjutnya agama dia posisikan sebagai lawan dari ilmu pengetahuan dan filsafat; agama diletakkan dalam situasi yang " sederhana", tak kritis, luar, ringan, tak begitu eksis; sedangkan ilmu pengetahuan dan filsafat adala sang hakim yang perdebatan dikotomi agama vs filaafat. Artinya, itu sudah klise.
Tapi benarkah agama itu sederhana, lalu bagaimana agama menjelaskan soal kemungkinan ultim manusia?
Muhammad Iqbal dalam bukunya "Reconstruction", kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa arab dengan judul "tajdid at tafkir al din fi al islam", membagi agama ke dalam tiga tahap: tahap" iman", tahap " pemikiran", dan tahap " ketersingkapan". Pada tahap pertama setiap orang baik individual maupun sosial tunduk kepada aturan-aturan dan hukum agama secara total, tidak ada ruang bagi akal untuk menyoal perihal ajarannya.
Lalu pada tahap kedua seseorang mulai bertanya mencari pemahaman soal-soal keagamaan yang berasas pada ketuhanan (metafisika); ia mulai merenungkam alam semesta, dituntun oleh akal agar mendapat pemahaman yang benar dan sistematis. Pada tahap inilah seseorang akan bernalar tentang Tuhan, seputar dzat Allah Swt.
Pada tahap ketiga, ilmu rohani ('ilmu nafs) menempati posisi ilmu metafisika. Pada titik inilah agama memungkinan terkabulnya keinginan manusia untuk bertemu dengan realitas yang lebih tinggi (al haqiqoh al qushwa)-- kalau kita amati tahap yang ketiga ini agak mirip dengan konsep "alam idea" atau "dunia kayangan" Plato.
Jika agama diidentikkan dengan suatu “kesederhanaan”, yang "tak wah", seperti pikir Van der Weij tadi, mungkin yang dia maksud adalah agama pada tahap pertama sebagaimana dikatakan Iqbal, dalam arti agama yang diterima begitu saja, tanpa tindak-tanduk nalar dan semacamnya. Meskipun bagi kita, orang islam, itu agak memaksakan. Karena sampai kapanpun, Iman adalah cahaya, ia merupakan prinsip utama yang menentukan kesejatian dan kepalsuan, keselamatan dan kesengsaraan abadi.

Tapi agama tak hanya berbicara keimanan saja, ada tahap "fikrah" juga di sana, masih ada tahap lain yang mampu beroperasi pada tingkatan yang tak mampu disentuh oleh nalar, yakni tahap "iktisaf", ketersingkapan.
Apa yang dikatakan Van der Weij soal agama itu sederhana, dan tak berpendidikan, itu sebatas fatwa belaka, yang cuma berupa pembenaran ontologis semata. Tidak ada pemaparan lebih lanjut yang membuktikan bahwa agama memang tak berhak memiliki jawaban sedemikian rupa yang barangkali setara dengan “yang filosofis”. Artinya, tidak ada pebenaran epistemologis di sana.
Perihal kemungkinan ultim manusia, Muhyiddin Ibnu Arobi dalam karya monunentalnya Fushus Al Hikam mengatakan: " Ketika al Haq adalah hakikat (huwiyyah) dari alam semesta ini, maka semua hukum yang ada tidaklah hadir kecuali barasal dari-Nya (minhu) dan tentang-Nya (fihi). Itulah makna dari firmannya "dan kepada-Nya segala urusan dikembalikan " baik secara hakikat maupun secara tersingkap, "Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya" baik secara terhijab dan tertutupi. "
Dari sini jelas, bahwa alam semesta harus tunduk pada "al Haq", "sang benar", karena ialah hakikat di balik wujud alam semesta ini--manuia otomatis masuk ke dalamnya. Itulah kemungkinan ultim manusia.
Dan ini bagianenariknya: Ibnu Arobi juga menjelaskan bahwa soal makna kebenaran, yang pastinya berkaitan pula pada makna hidup, tak semuanya dirangkum dipusatkan pada akal manusia. Ada suatu ilmu yang menurut Ibnu Arobi sisi keotoritatifannya lebih kuat dan absah dibanding akal. Ia menyebutnya ilmu "al adzwaq", ilmu "rasa", yang dalam istilah Iqbal ilmu semacam ini dalam tahap-tahap keagamaan tergolong pada yang ketiga, yakni tahap ketersingkapan. 
Ibnu Arobi mengatakan:  " begitu juga ilmul adzwaq, yang tak didapatkan melaui proses pemikiran. Ilmu tersebut adalah ilmu yang benar. Sedangkan selainnya hanyalah firasat dan dugaan semata, bukan ilmu yang sebenarnya." 

__________

Tulisan ini bentuk utuh dan mentah dari tulisan saya yang dipost di Numesir.net   
pada 10 agustus 2020.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu