Sejarah: Capaian ataukah Beban?

Mungkinkah yang dicapai guru-guru kita, orang tua, atau para leluhur kita akan begitu saja terwariskan kepada kita. Dengan proses "hulul", manunggal atau melalui proses peleburan misalnya. Secara kategori hukum aqli, itu mungkin. Tapi secara ontologis, tidak. Karena itu semua 'arodl', dan 'arodl la yabqho zamanain'. 

Menurut Al Baqillani, definisi 'arodl adalah "ma la yasihuu  baqouhu". Yakni sesuatu yang tak bakal/boleh langgeng. Oleh karena itu, dalam Al Quran dunia digabungkan dengan kata 'arodl, karena keberadaannya yang sementara. 

تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ

[Al Anfal:67] 

Selanjutnya, Al Baqilani menjelaskan setiap warna, aroma, karangan, hidup, mati, pengetahuan, kebodohan, kekuatan, kelemahan dll itu semua termasuk bagian dari 'arodl.

Paham seperti ini tak lagi murni teologis.Tapi bisa ditarik juga ke ranah sosio-historis. Semisal, pernyataan "bangsa kita adalah bangsa yang unggul karena dulu pernah..." Merasa dulu pernah memiliki pencapaian yang gemilang, lantas sekarang kita sebagai generasi penerus diam-diam saja tanpa pergerakan apapun adalah kekonyolan paling fatal. Itu sama saja, "orang tua gue itu terdidik dan kaya raya", tapi akunya gak belajar dan gak kerja, ya nihil juga. Karena semua itu adalah 'arodl. Dan 'arodl itu gak bisa eksis dalam dua waktu sekaligus. 

Sebab itu, kadang saya berpikir, alasan mengapa sebuah masyarakat bisa tertinggal dan sulit untuk berkembang adalah karena gak kuat menanggung "beban sejarah" yang terlalu besar. Memang mudah saja ketika membaca buku sejarah, kita menemukan data, dalam waktu ini Islam menaklukan ini, dalam waktu ini dibangunlah peradaban ini, dalam kurun ini lahirlah tokoh ini ini dan ini, dan telah menemukan ini dan ini, menulis ini dan ini.

Lalu diam-diam kita pun ikut menikmati, atau bahkan tanpa ragu mengaku dan merasa memiliki capaian itu. 

Aduhai, menyebalkan sekali! 

Dari sini saya jadi ragu atas sebagian pernyataan bahwa paham asy'ari mengenai "kasbul 'abd" itu tak relevan dengan pergerakan zaman, modernitas dan kemajuan. Karena paham ini terkesan "jabbariah" (seperti yang dituduhkan oleh Ibnu Taimiah dengan menyebutnya "jahmiyyatul af'al"), bahwa segala hal yang terjadi dunia ini sepenuhnya takdir Tuhan. Bahwa manusia hampir tak punya bagian untuk berikhtiar dalam menciptakan kreatifitas. Tapi semua pernyataan itu jelas-jelas tidak benar.  Untuk membatalkan pendapat tersebut cukup dengan meghadirkan paham 'arodl sebagaimana di atas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?