Bertarekat Yang Sebenarnya


Pada hari sabtu kemarin saya mengikuti pengajian Syarh Mawaqif yang diampu oleh Syekh Hasan Syafii. Seperti biasanya, seusai pengajian Syekh tidak langsung beranjak pulang. Beliau tetap berada di kursi, sambil dikelilingi murid-murid beliau yang meminta salaman, doa, dan konsultasi berbagai persoalan yang berkaitan dengan ilmu kalam. 

Tapi kemarin ada yang sangat berkesan bagi saya pribadi, yaitu ketika beliau tak kunjung pulang karena saking lamanya orang-orang meminta penjelasan dan berdikusi dengan beliau. Padahal pengajian waktu itu menghabiskan waktu sekitar dua jaman, dan menurut saya itu cukup menguras tenaga Syekh. Hal semacam itu wajar, apalagi bagi orang yang sudah berumur hampir sembilan puluhan. 

Kembali ke cerita awal. Ketika beliau hendak pulang, tetiba saya melihat ada Syekh Fathi Hijazi sudah didalam ruwaq (tempat mengaji di area masjid Azhar) sedang solat. Dan saya lihat Syekh Hasan tak langsung menngalkan ruangan, beliau berdiri sambil menunggu Syekh Fathi yang sedang sholat. Seusai solat, kedua ulama kibar Azhar itu langsung berpelukan hangat. Terlihat Syekh Hasan hendak mencium tangan Syekh Fathi, tapi beliau menolak sambil menarik tangan beliau. Terus para murid Syekh Hasan pun ikut mencium tangan Syekh Fathi, begitu juga saya. Lalu keduanya berpisah, Syekh Hasan berjalan meninggalkan ruangan, dan Syekh Fathi menuju kursi, tempat beliau mengajar kitab "burdah hasaniah huseiniyah" karya Sidi Syekh Soleh Ja'fari.

Hal yang paling berkesan bagi saya adalah ketika saya sadar bahwa beliau berdua adalah ulama kibar Azhar yang mempunyai jalur tarekat yang sama, yakni Naqsyabandiah. 

Jadi meskipun beliau berdua adalah penganut sebuah tarekat, tapi tidak menghalangi beliau-beliau untuk belajar dan mengajarkan ilmu-ilmu dzahir-- tidak seperti tarekat yang digambarkan oleh sebagian orang terdekat saya sebagai sesuatu yang bersifat "bathin", dan cenderung bertentangan dengan ilmu-ilmu "dzahir".

Tapi sependek pemahaman saya, penggambaran semacam itu tidaklah benar. Dan itu sudah dibuktikan oleh para Kyai dan Masyayikh kita. Seperti dua Syekh tersebut: Syekh Hasan adalah ulama yang pakar dalam ilmu akidah dan filsafat. Dalam setiap pengajianya (syarh mawaqif), seringkali saya mendengar nama Aristoteles disebut, begitu juga pandagan para filsuf dan ulama ahli kalam ketika membahas mengenai pengertian "zaman", "makan", "kam muttashil" dst. Begitu juga Syekh Fathi Hijazi, diusia beliau yang "sepuh", tak menghalangi kepadatan beliau dalam mengajarkan beberapa kitab seperti "Syarh Ibnu Aqil", "Audloh Masalik", "Syamail Muhammadiah", "Bughyatul Idloh li Talkhisil Miftah", "Al Nur Al Kholid" karya Fathulloh Ghulen, dan belum yang lainya yang beliau ajarkan di perkuliahan.

Dalam tulisan ini saya tidak akan menyebutkan berbagai dalil yang berkaitan dengan tarekat, atau membahas apakah ia yang cenderung "bathin" lantas harus berlawanan atau tidak bisa beriringan dengan ilmu-ilmu "dzahir". Tapi yang perlu untuk digaris bawahi adalah bahwa dengan belajar kepada dua guru mulia itulah kita akan memahami apa arti bertarekat yang sesungguhnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?