Sebuah Pembacaan Maqashid 2

Dalam bukunya tersebut, Dr.Hisyam membagi pendapat para ulama yang berhubungan dengan pro-kontra ta'lil ke dalam tiga golongan. 

Pertama yaitu pendapat Muktazilah yang mengatakan bahwa ahkamulloh mempunyai alasan. Mereka berkata: " Sesungguhnya tidak patut (qabih) bagi Alloh Swt untuk melakukan hal-hal yang tidak patut atau suatu kesia-siaan ('abats), melainkan apa yang Dia lakukan harus mengandung kemaslahatan dan tujuan."

Kedua adalah pendapat Asya'iroh, Dzahiriyah, Jahmiyah dan selainnya yang menolak paham ta'lil. Mereka berkata: "Sesungguhnya  af'alulloh dan ahkamulloh tidak bisa dita'lil. Berarti amr-Nya tidak mempunyai illah dan hikmah."

Ketiga adalah pendapat kebanyakan fukaha dari ahlus sunnah yang mengatakan bahwa af'alulloh dan ahkamulloh tidak dita'lil secara wajib. Melainkan lebih mengarah kepada melimpahkan anugerah dan kebaikan. Pendapat inilah yang konon diikuti oleh kebanyakan asy'ariyah."

Dari pembagian diatas jelas sekali terlihat bahwa konsep ta'lil yang mencirikan konsep baik buruk (husn wa qubh) muktazilah diterapkan kedalam dua sisi yang bersamaan. Hal itu mengakibatkan Asya'iroh yang sejak awal menolak konsep baik-buruk rasional aliran Muktazilah tersebut juga seolah-olah menolak ta'lil dalam af'alulloh dan ahkamulloh secara bersamaan. 

Tapi saya kurang setuju pembagian semacam itu. Pasalnya, menurut hemat saya ta'lil yang dipahami dalam konteks af'alulloh itu sudah berbeda dengan ta'lil yang dipahami dalam konteks ahkamulloh. 

Asya'iroh menolak ta'lil dalam konteks af'alulloh karena 'illah (alasan) yang dipahami dalam ilmu usuluddin itu sebagaimana yang tertera dalam pembahasan  "umur 'ammah" yang berarti: ihtiyaju syain ila aakhor: butuhnya sesuatu atas sesuatu yang lain. Dan ini jelas ketika diterapkan dalam konteks apakah perbuatan Allah Swt mempunyai alasan atau tidak, jelas Asyairoh menolaknya. Karena seumpama Allah Swt mempunyai alasan dalam melakukan sesuatu, maka Allah Swt membutuhkan pada sesuatu tersebut. Dalam ilmu ushul hal semacam ini adalah makna dari "al kamal", bahwa Allah Swt menjadi sempurna dan tidak berkaitan dengan sesuatu yang Ia lakukan itu. Sebab itu, Asya'iroh jelas menolaknya. 

Tapi berbeda dengan 'illah yang dipahami dalam konteks ahkamulloh. Illah disini tidak diartikan dengan "butuh". Sebagaimana yanh diterangkan oleh Dr. Hisyam, bahwa illat dalam maqoshid syariah mempunyai definisi sendjri, yaitu: ma yatarottabu 'ala tasyri'il hukmi min jalbi mashlahatin aw daf'i mafsadatin. 

Sampai disini terlihat jelas sekali perbedaanya. Kalau dalam konteks af'alulloh, ghord yang berupa baik-buruk dimaksudkan kepada Allah Swt. Dan ini menunai perdebatan diantara para ulama. Sedangkan dalam konteks ahkamulloh, ghord tidak lagi dihubungkan kepada Tuhan, karena yang menjadi objek tasyri'ul hukm adalah 'ibad, alias para hamba. Berarti paham maslahah dan mafsadah pun diarahkan kepada makhluk, tidak seperti konsep "kamal" yang dipahami dalam ranah ushuluddin. 

Jadi kesimpulannya, sah-sah saja jika Asya'iroh menolak konsep ta'lil dalam konteks af'alulloh karena itu berkaitan dengan masalah teologis. Tapi diwaktu yang sama, asy'iroh juga menerima konsep ta'lil dala konteks ahkamulloh atau tasri'ul hukmi karena yang menjadi acuan adalah kemaslahatan dan kemadlorotan yang kembali kepada makhluk. Karena ini masalah hukum, maka pembahasannya berbicara seputar furu'.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?