Sebatas Catatan Kecil Untuk Merayakan Dekonstruksi Derrida

Tema kajian kali ini sangat menarik. Si pemakalah menulis tentang rasionalitas kepenulisan sejarah (Islam). Dalam studi kasusnya, penulis mengambil kejadian Perang Jamal sebagai sampel kajiannya. Sebenarnya saya mengakui kekurangan bacaan saya dalam term-term yang berkaitan dengan objek  kesejarahan. 

Tapi ada yang menarik dalam tulisan teman saya tersebut ketika membahas metode yang ia pakai dalam pembacaan sejarah. Selain menyebutkan pendapat-pendapat yang dinisbatkan kepada Ibnu  Khaldun, dia juga menyinggung sebuah metode yang ia sebut dengan metode analisis strukturalis-dekonstruktif. Pada poin inilah saya tertarik untuk mencari sumber lebih dalam dengan harapan agar bisa meramaikan diskusi dalam kajian siang nanti.

Diantara beberapa hal yang membuat saya janggal adalah ketika teman saya menggabungkan paham strukturalisme dengan paham dekonstruksi. Dalam berbagai rujukan, saya tidak menemukan adanya pembenaran akan hal itu. Justru sebaliknya, dengan paham dekonstruksinya, Derrida merupakan seorang Post-strukturalis yang melawan strukturalisme itu sendiri. Meskipun itu tidak ia lakukan dalam berbagai hal, tapi dalam beberapa hal tertentu saja.

Dekontruksi yang diusung oleh Derrida adalah metode pengubahan teks (filsafat) yang dalam kebudayaan barat dinilai cenderung pada mefasik tertentu. Hal ini oleh Derrida dinamai dengan logosentrisme. Logosentrisme adalah tradisi Metafisika Barat yang berjiawakan Platonian dan Dualisme Cartesian. Logosentrisme disebut juga dengan metafisika kehafiran (Metaphysic of presence) yang mengasosiasikan kebenaran lewat kehadirin diri murni. 

Logika yang membentuk logosentrisme disebut dengan logika oposisi biner, yang meletakkan segala hal pada dua sisi yang saling berkaitan, yang salah satunya sebagai origin, dan satunya sebagai semu-subordinatnya, semisal: metafisika atas fisik, idea atas materi, mind atas benda, ucapan atas tulisan dst.

Sebagaimana pendapat yang cukup familiar, bahwa filsafat barat (modern) pada dasarnya dibangun sebagai catatan atas filsafat Plato, dan itu tergambar pula pada logisentrisme. Paham ini pertama kali memang dicetuskan oleh Plato yang menguraikan bahwa ada sesuatu yang menjadi asal bagi segala hal yang kasat mata ( wujud khoriji) ini: idea. Pada awal mulanya filsafat Plato ini (menurut hemat saya) hanya terkhusus dalam bidang metafisika saja. Tapi pada akhirnya melebur ke berbagai bidang yang ada, seperti Aristoteles sendiri yang mengadopsi gagasan gurunya itu untuk diterapkan pula dalam bidang sastra, yakni dalam pembahasan mimesis dan catarsis.

Jadi dekonstruksi Derrida hadir memang untuk mengguncang dan mempersoalkan semua itu. Derrida  benar-benar terkesan ingin menolak kemapanan. Tidak ada "kehadiran" dalam tanda-tanda tertentu. Baginya makna (kebenaran) hanya bisa diindera melalui perbedaan yang ada dalam tanda-tanda. Perbedaan itu terus bergerak, sebab itu, kebenaran absolut senantiasa "tertunda".

Satu contoh misalnya, ketika kita membaca teks-teks yang ditulis Plato lalu memahaminya lantas hal itu menandakan apa yang kita pahami dari teks-teks (tanda) tersebut adalah makna-makna yang tersirat dalam benak Plato. Itu tidak benar. Bisa jadi makna-makna tersebut tidak berasal dari Plato, melainkan dari Sicrates atau para Filosof Yunani kuna. Oleh karena itu, ketika Derrida membaca Phaedrus dalam tulisan-tulisan Plato, ia tidak hanya bermaksud menggambarkan maksud yang ia pahami dari teks, tapi juga menyampaikan isi-isi yang tak sempat tertuliskan dengan lebih luas, dengan caranya sendiri. Derrida juga melakukan hal yang sama ketika membaca tulisan-tulisan Kafka seperti "Before the Law", dan tulisan-tulisan Shakespeare seperti "romeo-juliet".

Tidak ada kebenaran yang utuh. Belum ada makna yang selesai. Derrida benar-benar menyangsikan  "kehadiran" metafisik. Semua itu baginya sebatas jejak-jejak yang hanya bisa dibedakan, sekaligus ditunda. Dalam hal ini, Derrida mencetuskan teorinya yang baru yang ia sebut "Differance". Yakni sebuah kata yang belum dijumpai dalam kamus manapun. Istilah ini tersusun dari dua kata, yaitu "to differ" yang berarti membedakan, dan "to defer" yang berarti menunda. Istilah ini menuai banyak kontroversi.

Derrida mendakwahkan bahwa makna suatu tanda (kata) tidak bisa diartikulasikan dengan sebenarnya, tapi ia musti ditangguhkan juga. Sebab itu, ada yang berpendapat bahwa mustahi kita mampu mengkontekstualisasikan gagasannya itu. Begitu juga terhadap literasi Derrida itu sendiri.













Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?