Pegon dan Jawanisasi

Dalam sebuah obrolan, teman saya yang mempunyai basic pesantren modern bertanya kepada saya: mengapa pondok salaf memegang erat tradisi "maknani", alias mengajarkan kitab-kitab kuning dengan bahasa arab pegon, bukankah hal semacam itu bisa diartikan dengan praktik "jawanisasi"? 

Sebagai "santri salaf" sebenarnya saya agak kesal dengan pertanyaan semacam itu. Tapi di satu sisi saya santai karena memaklumi bahwa teman saya "sepercangkruan" itu memang cerdas. Sebab kecerdasan itulah akhirnya ia tak bisa memilih jalan lain selain kritis, dan selalu ingin menggali dan mempersoalkan segala hal. Kadang saya jengkel dan sebel untuk meladeni pikiran liarnya, yang kalau tidak di stop bisa jadi dalam sehari penuh saya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan kepada saya. Tapi sebagai sahabat, saya pun senang dan merasa bangga. Satu hal yang sering saya tekankan kepada dia, sebagaimana pesan para senior kepada saya, bahwa orang tidak cukup hanya berpikir ktitis saja. Ia harus mengimbangi kritisnya tersebut dengan membaca. Menurut pengalaman saya, orang yang hanya mengandalkan kritis saja tapi malas baca pasti dia sangat menyebalkan. Apalagi ditambah rasa keegoan yang tinggi, ya gak singkron, san sulit untuk diajak sharing atapun dialog. Lha untungnya teman saya tersebut orangnya mau baca, meskipun ya gak rajin-rajin amat.

Kembali ke maknani pegon. Kalau boleh saya sederhanakan, sebenarnya yang dikehendaki teman saya tadi adalah dia merasa janggal saja. Bagaimana mungkin orang-orang NU yang hampir kebanyakan berlatarbelakang pesantren salaf ketika mempunyai gagasan "Islam Nusantara", yang menganjurkan kepada masyarakat muslim Indonesia untuk mengambil dari Arab ajaran-ajaran keislaman saja, bukan budaya dan tradisinya, tetapi dalam praktiknya mereka orang-orang "salaf" justru mengajarkan ilmu-ilmu agama dengan bahasa jawa (maknani). Bukankah hal demikian terkesan ada upaya "jawanisasi", dan kalau itu benar berarti telah melanggar islam nusantara itu sendiri karena yan dikedepankan bukanlah nusantara pada sebenarnya, melainkan jawa? 

Karena saat itu konteksnya adalah pesantren Lirboyo, saya menampik asumsi yang menganggap telah terwujudnya upaya jawanisasi di lingkungan pesantren. Pasalnya, ketika para guru kami mengajarkan kitab kuning, beliau-beliau tidak sekedar meknani begitu saja membiarkan murid memahami teks secara litaral. Tapi juga ada penjelasan atas teks tersebut dengan menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan kami pun senantiasa bermusyawah dan berdikusi atas pembahasan tertentu juga dengan menggunakan bahasa Indonesia. Jadi tuduhan kalau pesantren salaf sepenuhnya mengadakan jawanisasI yang seolah-olah mengandung unsur fanatisme kesukuan atau menyinggung orang-orang selain jawa itu tidaklah benar. 

Lagi pula sistem pendidikan pesantren salaf yang menggunakan makna pegon itu tidak bersifat memaksa. Semisal seluruh umat muslim ndonesia yang terdiri dari berbagai suku dan bahasa itu harus berbondong-bondong ke Lirboyo, atau pesantren salaf yang lainnya, untuk belajar Islam dengan bahasa jawa. Praktiknya kan tidak. Pondok salaf itu hanya sekedar menawarkan sistem, itu saja. Kalau masuk ya monggo, kalau tidak ya silahkan. Gitu saja kok sulit. 

Belajar kitab kuning dengan metode makna pegon itu tidak wajib. Tapi kalau ada orang yang mengambil metode seperti itu ya jangan disalahkan. Apalagi disebut jawanisasi yang mengesankan sentimen kesukuan. 

Contoh sederhana yang lain, saya ini orang Mojokerto, Jawa Timur. Dan sekarang saya belajar di Al Azhar Kairo Mesir yang bahasa pengantatnya menggunakan bahasa Arab. Lantas apakah Al Azhar bisa disebut mengadakan arabisasi, dan melakukan diskiriminasi pada para mahasiswa non-arab? Jelas sekali tidak. Saya datang kesini tanpa paksaan siapapun. Saya disini belajar dengan bahasa arab, toh juga gak merasa kalau bahasa jawa saya diremehkan atau termarginalkan. 

Terus kalau dihubungkan dengan Islam Nusantara, ketika kita dianjurkan untuk mengambil nilai-nilai keislaman saja, bukan berarti hal itu karena dilatarbelakangi sentimen atas kesukuan dan kebudayaan arab. 

Menurut hemat saya, paham Islam Nusantara memang penting untuk ditekankan menimbang adanya sekelompok umat islam yang model beragamanya lebih akrab dengan simbol-simbol, tradisi-tradisi yang lebih mencirikan pada status kebudayaan tertentu (arab), tapi justru melalaikan nilai-nilai yang semestinya menjadi objek utama dalam keberagamaannya. 

Itu tadi dilihat dari satu sudut pandang saja. Adapun dari sudut pandang yang lain, yaitu sebagai upaya autokritik terhadap orang-orang islam non-arab yang dalam prinsip kebudayaannya justru lebih condong kepada budaya lain, dan cenderung memandang sebelah mata kebudayaannya sendiri. Hal ini jelas sekali bertentangan dengan fitrah manusia yang memang diciptakan berbeda-beda suku dan budaya, tapi tetap satu ajaran dan tujuan.

Dari uraian tadi, jelas sekali, seumpama kita orang non-arab tidak mengikuti budaya arab bukan berarti karena ada motif sentimental dan semacamnya. Begitu juga ketika kita mencintai kebudayaan lain, lantas kita tidak boleh melupakan atau bahkan membenci jati diri kita sendiri.

Kurang lebih dengan cara seperti itulah kami memahami tradisi maknani yang tetap kami lestarikan sampai kini. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?