Kita, Realitas dan Batas Kebenaran

Tadi malam, baru beberapa menit saya tiba di rumah setelah berjam-jam belanja dan ngafe, tiba-tiba teman saya menghubungi saya untuk menemui dirinya di sebuah kafe. Saya sebenarnya agak lelah, tapi berhubung dia mau pulang ke Indo, saya pun berusaha memenuhi panggilannya itu. Kita pun ngopi bareng, nyisah, dan ngobrol ngalur ngidul gak jelas.

Tapi diselang-selang obrolan yang gak terstruktur itu, ada beberapa poin yang tak lepas dari pembahasan kami. Di antaranya pertanyaan dia kepada saya bagaimana pandangan subjektif saya mengenai filaafat, ilmu kalam, dan teori-teori yang melangit kita pelajari selama ini. Bukannya di masyarakat yang lebih dibutuhkan adalah "para penceramah" atau kyai yang berbicara fikih, hadis, dan tafsir? Lalu buat apa kita belajar filsafat atau teori-teori yang rumit-rumit itu? 

Saya sepontan menjawab, memang benar kalau relasi atau relevansi antara teori-teori dan realitas selalu menyita perhatian kita untuk dibahas. Tema semacam ini tak henti-henti kita ulangi di dalam rumah, dalam forum-forum ilmiah, atau warung-warung kopi (universitas yang paling merakyat, yang lebih sering kita singgahi daripada universitas-universitas itu sendiri). Saking seringnya tema semacam ini saya bicarakan dengan teman-teman( baik teman seangkatan ataupun senior) saya sampai lupa kira-kira apa hasil akhir dalam pembahasan-pembahasan itu. Ada yang bilang teori itu gak perlu, gak riil, dan jauh dari realitas kehidupan. Ada juga yang membantah, seperti saya misalnya. 

Menurut saya, ada kejanggalan kalau kita mempersoalkan apakah teori-teori ilmiah, logika, dan metafisika mungkin untuk dihadapkan pada realitas yang digambarkan dengan kumpulan masyarakat tapi justru kita sendiri, para pengkaji teori tersebut justru tidak dipandang sebagai "bagian" realitas itu sendiri.

Bagi saya pandangan semacam itu aneh sekali. Saya beranggapan, bukankah suatu bentuk masyarakat yang luas ini berasal dari suatu bentuk individu-individu yang kecil dan terbatas?  Saya, dan  orang-orang seperti saya adalah bagian masyarakat, termasuk kedalam bentuk-bentuk sosial, berarti termasuk kedalam realitas itu sendiri.

Disamping itu semua, sejak dari awal ketika saya tertarik untuk mendalami dan mengkaji keilmuan tetentu, yang terpikirkan pertama kali oleh saya bukanlah apakah ilmu itu ada kaitannya dengan masyarakat atau tidak. Tapi bermula dari apakah hal itu benar atau tidak benar. Sebelum berbicara urusan orang lain, saya berusaha mengerti,  apakah teori ( ilmu) tersebut penting, tidak penting, atau bahkan harus untuk saya pelajari.

Terlepas dari semua itu, bukannya setiap kita adalah orang yang mencari. Sebagaimana perlu untuk kita teliti adakah sebuah hubungan antara teori dan relaitas, ada sebuah kesadaran yang tak kunjung selesai menuntuk kita untuk terus berjalan dan mencari: apa, dan sampai batas mana kebenaran itu sendiri? 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?