Membaca Maqoshid Dari Perspektif Teologis

Diskusi ilmiah yang digelar oleh Komunitas Kajian SASC Nu Mesir tadi membawakan tema yang menarik, yaitu tentang "Polemik Konfigurusi Maqashid Syariah". 

Bagi saya pribadi, maqashid syariah sangat menarik untuk dikaji. Diantara penyebebnya adalah karena saya yang selama ini tertarik dalam kajian-kajian filsafat, merasakan ada relasi yang kuat antara Etika dan Maqashid Syariah. 

Yang menjadi titik tekan adalah sebatas mana baik-buruk, kemaslahatan dan kemudaratan itu dimengerti dan diterapkan nilai-nilai esensialnya.

Ketika filsafat etika menyuarakan nilai baik-buruk hanya murni bertolak dari perspektif akal budi, dan terkesan menjauhkan diri dari otoritas agama, senagaimana ia berasal dari Yunani. Tapi berbeda dengan maqashid syariah yang berfungsi menjabarkan "maslahat-mafsadah" yang dikelola melalui dua sisi secara bersamaan: agama (syariat) dan akal budi.

Sebagai anggota kajian, saya berusaha ikut rembug atau sharing ide agar pembahasan ilmiah tersebut semakin hidup dan menarik.

Dalam hal ini, saya ingin melihat maqashid syariah melalui perspektif teologis (ilmu kalam).

'Adludin Al-Iji ketika berbicara mengenai konsep ketuhanan ( ilahiah) menerangkan bahwa tindakan-tndakan Tuhan tidak patut untuk disemati dengan alasan-alasan: af'alulloh ghoiru mu'allalah bi syain. Ini adalah pendapat Asy'arian. Berbeda dengan kaum muktazilah. Menurut mereka tindakan-tindakan Allah Swt harus mempunyai alasan. Mereka berpendapat seperti itu karena bagi mereka tidak mungkin jika Allah Swt berbuat sesuatu tanpa diserti tujuan-tujuan (al ghord). Sedangkan fuqaha berbeda dengan muktazilah, mereka tidak sependapat jika af'alulloh mu'allalah, mereka hanya menegaskan bahwa tindakan-tindakan Alloh Swt berkaitan dengan kemaslahatan hambanya: taba'iyah li masholih al 'ibad.

Menarikanya, Fakhruddin ar-Razi justru terkesan menyamakan pendapat fuqaha tersebut dengan pendapat muktazilah. Dalam muhassolnya, beliau membagi perbedan ulama dalam masalah ini kedalam dua bagian saja: Asya'iroh dari pihak kontra terhadap wujudnya sebuah alasan ('illah), dan Muktazilah beserta sebagian fuqaha yang berada di barisan proterhadap wujudnya sebuah alasan.

Dalam dua kitab diatas tadi, yakni mawaqif li iji dan muhassol lil fakhr ar razi, pembahasan dan perselisihan ulama hanya terkhusus pada permasalah af'alulloh saja. Dalam arti masih menyinggung pembahasan ilahiat saja. 

Lalu bagaimana kalau pembahasan "illah" ditarik ke ranah hukum syari. Dalam hal ini mempertanyakan setatus ahkamulloh: apakah hukum-hukum Tuhan mempunyai alasan? 

Bisakah disebut sama antara "mengalasi" (ta'lil) tindakan-tindakan Tuhan dengan mengalasi hukum-hukum Tuhan? 

Jika kita merujuk pada dua kitab turots diatas, belum ada penjelasan secara eksplisit mengenai hal itu melainkan sebatas singgungan-singgungan bahwa fuqaha ikut terlibat dalam perdebatan af'alulloh saja. Tapi menurut saya ini janggal, kalau memang tidak ada kaitannya sama hukum, mengapa fuqaha yang notabene bertugas mengkaji permasalah furu' ikut serta dalam perdebatan dalam masalah ushul? 

Dari sini ada yang menyamakan kedua masalah tersebut. Seperti yang ditulis oleh Dr. Hisyam bin Sa'id dalam bukunya yang berjudul "Maqashid Syariah 'Inda Imam al-Haromain."



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?