Khilafah Yang Kami Pahami




Khilafah Yang Kami Pahami

Dalam Majalah Al-Azhar edisi bulan Desember kemarin, saya menemukan sebuah tema yang sangat menarik. Yakni membahas tentang “ khilafah dan tanggung jawabnya di muka bumi.” Tema ini ditulis oleh seorang filsuf Azhary yang sangat terkenal kepakarannya dalam bidang akidah-filsafat dan isu-isu islam kontemporer baik di timur maupun di barat, beliau adalah Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq. Sejak pertama kali melihat tema ini saya langung tertarik untuk membaca dan mengerti lebih jauh mengenai konsep khilafah dalam pandangan beliau. Sebab saat ini saya merasa banyak sekali terjadi penyempitan makna yang disebabkan klaim sepihak yang melulu subjektif, dan kini, mindset seperti itu semakin membabi buta. Substansial makna dan simbol-simbol seolah-olah menjadi tunggal, dan terpaksa melebur sebagai "genus" yang sama: kabur. Diantaranya terjadi pada kata “khilafah” itu sendiri.
Dalam tulisannya, Dr. Hamdi Zaqzuq tidak menggambarkan khilafah sebagai gerakan politik seperti yang sering disuarakan oleh sekelompok umat yang beranggapan "sedang" membela islam itu. Tapi kata tersebut dimaknai sebagai sesuatu yang sangat murni dan universal: lebih dari sekedar kata yang dibelenggu asumsi-asumsi, sesuai dengan yang diajarkan islam itu sendiri -- baca surat Al-Baqoroh ayat 30.
Pemahaman yang paling mendasar tentang konsep khilafah adalah pemahaman tentang tugas manusia sebagai “pengganti Tuhan” di muka bumi. Manusia bertanggung jawab untuk menjalankan kehidupan dengan seadil-adilnya, merawat segala yang ada di dalamnya dengan baik karena mereka telah diberi kekuasaan dan kendali atas segala yang ada di alam semesta. Untuk menjalankan tugasnya itu, manusia membutuhkan ilmu pengetahuan, serta kebebasan. Karena ketika manusia dihadirkan pada sebuah taklif atau tuntutan, berarti hal itu berkaitan dengan hukum dan kebebasan yang ia miliki. Ilmu pengetahuan menjadi sangat penting karena berposisi sebagai penakar pikiran yang membuat semua sendi kehidupan berjalan penuh keselarasan. Oleh karenanya dalam al-quran dijelaskan dengan gamblang bahwa setelah manusia dijadikan sebagai khalifah, Alloh Swt tidak membiarkannya begitu saja -- sampai-sampai para malaikat khawatir kalau kelak manusia akan berbuat durjana sama seperti pendahulunya: banul jan. Tapi manusia dibekali pengetahuan. Dalam surat Al-Baqoroh ayat 31 Alloh SWT berfirman:
"Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!”
Dalam khitobnya, khilafah tidak hanya dikhususkan pada tuntutan yang bersifat sosial saja. Bahkan setiap individu pun sepatutnya aktif sebab mendapat taklif yang sama. Yakni, siapapun yang berbuat kebaikan maka sejatinya itu untuk dirinya sendiri, begitu juga sebaliknya.
Lalu ketika manusia mempunyai kebebasan yang hampir total, baik secara intelektual maupun amal perbuatan (kehendak), muncul sebuah pertanyaan : apakah kuasa dan kehendak yang kita gunakan untuk mengelolah kehidupan di dunia ini memiliki batas-batas tertentu? lalu sebatas mana hubungan kebebasan kehendak kita dengan kehendak Tuhan?
Disini Dr. Hamdi Zaqzuq memberikan jawaban dengan pendekatan yang sangat apik. Menurut beliau, ketika akal berfungsi sebagai penuntun manusia menuju kehidupan yang sejahtera, maka akal membutuhkan sarana dan pra-sarana ( al-adah) yang berfungsi sebagai pelaksana ide (sultoh tanfidziyyah). Sarana tersebut berupa kehendak manusia itu sendiri. Lalu muncul sebuah persoalan ketika manusia dihadapkan pada kepentingan-kepentingannya yang beragam, dan seringkali itu bersuber dari hawa nafsu, maka saat itulah terjadi pertempuran antara kehendak dan akal budi.
Ringkasnya, dalam diri manusia terdapat tiga unsur energi yang saling berpotensi dan mempunyai otoritasnya masing-masing. Pertama akal budi(al-‘aql) sebagai perumus nilai-nilai (sultoh tasyri'iyyah). Kedua kehendak (al-irodlah) sebagai pelaksana sebuah ide (sultoh tanfidziyyah). Ketiga adalah nurani (al-dlomir) sebagai juru hukum ( sultoh qodloiyyah) atas segala perbuatan yang dilakukan manusia, ketika baik maka dampaknya baik dan sebaliknya. Dan tugas kita adalah menggunakan tiga potensi tersebut secara seimbang.
Beliau juga menegaskan, sepatutnya kita umat muslim tidak hanya berkutat pada perdebatan klasik yang sangat terperinci dan panjang mengenai status amal perbuatan, apakah ia kuasa atau dipaksa ( ashabul ikhtiyar am ashabul jabr) begitu saja. Tetapi yang pasti makhluk Alloh Swt itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama makhluk yang sepenuhnya baik dan taat. Sedetik pun mereka tidak melakukan kesalahan, dan selamanya patuh. Tapi mereka tidak mempunyai kebebasan (hurriyyah). Mereka adalah Malaikat. Dan yang kedua adalah manusia. Mereka bisa salah dan benar karena mereka memiliki kebebasan dan pilihan. Di kebebasan itulah batas meletakkan dirinya. Sebebas-bebasnya manusia dalam berkehendak, ujung-ujungnya ia harus berani menanggung balasan: kehendak dan kuasa yang sejati hanya milik Tuhan.
Yang paling penting dari itu semua adalah bagaimana kita bisa mengetahui status yang kita miliki seperti yang diterangkan dalam ajaran islam -- dalam hal ini adalah tugas kita sebagai seorang khalifah. Kesadaran (al wa'yu) sangat erat hubungannya dengan realitas (al-waqi'), dan untuk menuju perubahan, kemajuan dan peradaban maka yang perlu untuk kita benahi pertama kali adalah kesadaran kita masing-masing. Satu hal yang musti kita ingat: peradaban yang luhur tidak akan menimpa sebuah umat dan jatuh dari langit begitu saja. Zaman kemukjizatan telah berhenti sejak empat belas abad yang lalu. Dan akhirnya, masa depan tergantug pada kesadaran dan perubahan kita sendiri.
Alloh Swt berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia."
[Surat Ar- Ra'd : 11]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?