Tekstualis

Gambar mungkin berisi: cangkir kopi






TEKSTUALIS
Keberadaan sebagian kelompok islam yang mengatakan "umat islam harus kembali ke Al-Quran dan Al-Hadits " menurut saya cukup "berlebihan". Berlebihan disini maksudnya adalah antara teori dan praktik dalam realitasnya tidak sinkron, alias "gak genah". Tapi sudahlah, tidak usah dibahas, buang-buang waktu dan kuota.
Tapi ada statement lain yang menurut saya tak kalah ngawur dan menyesatkan daripada statement tadi. Yaitu statement yang mencukupkan kita umat islam untuk kembali ke Al-Quran "saja", tanpa Al-Hadits. Menurut mereka, Al-Quran itu diturunkan sebagai penjelas atas segala hal yang dibutuhkan oleh manusia. Oleh karena itu orang islam tidak perlu susah payah mempelajari hadis-hadis Nabi, karena sudah dicukupkan dengan Al-Quran.
Menariknya, untuk mendukung logikanya yang menyimpang, mereka tidak sungkan-sungkan menjadikan sebagian ayat-ayat suci Al-Quran sebagai dalil, seperti surat al-ankabut ayat 51, surat An-Nahl ayat 89 dan surat Al-An'am ayat 38.
Memang benar, kita umat islam sama sekali tidak meragukan keagungan kitab suci Al-Quran. Tapi dalam memahami isi dan kandungannya haruslah tepat, utuh, proporsional dan sepakat dengan pendapat para ulama yang ahli.
Untuk menjawab "syubhat" yang dibuat-buat tadi kita tidak perlu menggunakan penalaran spekulatif atau "njlimet". Bahkan pendapat tersebut bisa dengan mudah dilumpuhkan dengan ayat-ayat yang lain yang secara gamblang menjelaskan bagaimana relasi antara Al-Quran dan Nabi Saw. Misalnya dalam surat Ali Imron ayat 164.
Alloh Swt berfirman yang artinya:
"Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata."
Dan dalam surat An-Nahl ayat 44 Alloh Swt berfirman:
"Dan Kami turunkan Adz-Dzikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan."
Dari dialektika diatas setidaknya kita bisa mengambil sebuah pelajaran bahwa kebenaran tidak bisa diukur dari sekedar "ndalil" begitu saja. Tetapi harus disertai penafsiran yang sah dan mu'tabar pula. Adapun mengenai "nushus" yang dijadikan dalil pastilah final dan dijamin kesakralitasannya. Tapi bagaimanpun para pengeksploitasi dalil tidak selamanya bersih dan "qudus". Itulah yang membedakan antara islam dengan "penafsiran" dalam islam. Syekh Muhammad Al Ghazali dalam bukunya " laisa min al-islam" membahas panjang lebar mengenai hal ini. Menurut beliau perbedaan antara keduanya itu bagaikan langit dan bumi.
Intinya, banyak sekali kemungkinan yang terjadi di balik pendayagunaan dalil itu sendiri yang perlu untuk kita kaji. Dan seringkali kemungkinan itu berubah menjadi kepentingan pribadi. Apalagi dalam suasana sosial kita saat ini. Demi tercapainya maksud, dalam sekejap segepok dalil siap disulap dan dirangakai menjadi argumentasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?