Religious With Logic


Gambar mungkin berisi: cangkir kopi dan minuman

RELIGIOUS WITH LOGIC
Ada yang menarik pada perbincangan Habib Husen Ja’far Hadar dengan Tretan Muslim dalam videonya “Jeda Ngobrol”. Dalam video tersebut terjadi sebuah dialog antara keduanya seputar tema-tema keIslaman, seperti bagimana cara beragama yang benar, hubungan Nabi Saw dengan nilai-nilai kemanusiaan dan seterusnya.
Tapi yang paling menarik dalam dialog tersebut adalah ketika seorang Muslim bertanya : bagaimana batasan logika dalam beragama? Kalau boleh saya mengira-ngira, pertanyaan yang dilontarkan Muslim itu muncul dari keresahannya yang cukup serius. Pasalnya dalam bulan-bulan terakhir tahun 2018 lalu, ia sempat diintimidasi, dihujat dan dikeroyok di media sosial oleh netizen dengan tuduhan “penistaan agama”. Mereka tidak terima dengan video “puding babi kurma madu” yang ia buat. Akhirnya Muslim pun memberi klarifikasi yang disertai minta maaf atas perbuatannya itu dan terpaksa undur diri dari “debat kusir”.
Kendatipun demikian, keadaan menuntutnya untuk gelisah: Islam itu seharusnya menyampaikan pesan damai dan membawa keteraturan, maka ketika ada kekerasan atas nama agama berati itu tidak masuk akal. Sekali lagi, bagi Muslim, beragama itu harus logis. Pertanyaannya: sejauh mana akal mempunyai peran dalam beragama, atau sejauh mana batasan logika dalam islam?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyadari bahwa apa yang menimpa Muslim itu sebenarnya berupa miniatur atau gambaran kecil bagaimana keadaan sosial beragama kita saat ini. Rupanya tidak gampang bagi "sebagian orang" untuk membedakan antara mana yang “Islam” dan mana yang “pemikiran Islam” – dan mana yang menurut “AKU”. Bagaimana mungkin Islam yang begitu agung dalam kesejarahannya dan gemilang dalam capaian-capaian besarnya ternyata hendak dikerdilkan pada asumsi-asumsi yang hampir sepenuhnya “aku”. Jadi ketika ada orang mengatakan, “ ini bertentangan dengan ajaran Islam” itu bisa jadi yang dimakksud adalah bertentangan dengan pendapatnya yang “hampir kudus” itu, dan “ini penistaan agama”, maksudnya adalah menistai dirinya sendiri.
Syekh Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya "laisa minal islam" memberikan penjelasan yang sangata bagus mengenai perbedaan antara islam dan pemikiran islam. Beliau mengatakan : innal fikro al-islami laisa huwa al-islam bal huwa shun’atul muslimin al ‘aqliyyah fi sabiilil islam wa bimusyawaroti mabadiihi: pemikiran islam itu bukanlah islam itu sendiri, melainkan sebuah produk-nalar kaum muslimin yang dihasilkan dari jalan islam yang mengacu pada prinsip-prinsip dasarnya. Beliau melanjutkan bahwa islam itu adalah wahyu ilahi yang diturunkan kepada Rasululloh Saw Muhammad bin Abdillah, dengan Al-Quran sebagai kitab suci dan Sunnah Nabi sebagai penjelas Al-Quran. Adapun pemikiran Islam itu bersifat baru datang dan selalu tunduk pada perkembangan zaman. Sedangkan Islam itu mempunyai kitab :
" (yang) tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan datang), yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana, Maha Terpuji." (Al Fusshilat ayat:42)
Pemikiran islam itu tidaklah maksum, ia bisa salah dan bisa benar: tidak harus diikuti. Sedangkan Islam terbebas dari itu semua. Islam itu suci (qoddasah), oleh karenya ia wajib ditaati. Perbedaan antara Islam dan Pemikiran Islam itu bagaikan perbedaan langit dan bumi : antara kuasa Alloh SWT dan kuasa manusia. Tetapi keterikatan keduanya bagaikan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan saling berkaitan satu sama lain.
Kembali ke pertanyaan. Agama Islam memang sangat erat hubungannya dengan logika manusia, sampai-sampai ada yang mengistilahkan islam sebagai “agama akal”. Dalam al-quran banyak sekali ayat yang menyebut dengan jelas tuntutan untuk bertafakkur dan berpikir logis, misalnya:
(افلا تعقلون) ( افلا تبصرون ) ( افلا تتفكرون). Bahkan Muhammad AL-Jakfari dalam bukunya “al-‘aql wa al-din” menghitung bahwa dalam Al-Quran terdapat empat puluh sembilan ayat yang berisi ajakan untuk berpikir rasional (at ta’aqqul) dan ada sekitar delapan belas ayat yang mengajak kita untuk bertafakkur (at tafakkur).
Setelah itu bisakah dibenarkan bahwa akal murni mampu menembus ruang-ruang eksistensi yang sama sekali terlepas dari kawasan teks? Tentu saja tidak. Betapapun akal mempunyai otoritas, ia pun harus menjalani kodratnya: batasnya sendiri. Akal tak lebih dari sekedar penuntun belaka untuk memahami teks (nushus qoddasah). Dan karena kebebasannya— dan selamanya agama hanya mau mengajarkan kebebasan, bukan paksaan—akal pun seringkali tersesat dalam liarnya rimba pemaknaan. Mau tidak mau ia pun membutuhkan penuntun yang lain: agama itu sendiri.
Dalam bukunya “al islam wal ‘aql” Syekh Abdul Halim Mahmud menjelaskan batasan-batasan yang tidak boleh diterobos oleh akal manusia: pertama adalah hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan, kedua adalah hal-hal yang berkaitan dengan etika islam (al akhlak), yakni yang menyangkut nilai-nilai kebaikan (al khoir) dan keutamaan (al fadlilah), ketiga adalah pemutusan hukum-hukum syariat (at tasyri'), yang mana ia bertugas untuk mengatur kesejahteraan masyarakat sosial serta mengangkat nilai-nilai kemanusiaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?