# suatu pagi dunia terbangun cepat sekali kami pun duduk bersama menikmati kopi tak kusangka, tiba-tiba ia bercerita padaku memberi tahu asal usul kesakitan itu bahwa semua berawal dari percaya akan cinta yang tak ada, sahabat yang tak ada, pada hidup yang tak ada, pada makna yang tak ada: segala tentang tiada yang disangkanya ada. 21.02.21 # Diam-diam aku meyakini bahwa setiap yang berhati bermimpi untuk bertemu seseorang yang menyerahkan hatinya secara gila-gilaan, mengeluarkan kata-kata yang tak bisa lagi diuraikan dengan lisan. Bahkan untuk mengucapkan terimakasih saja kepadamu aku tak berani dan teramat malu. Ucapan maaf pun kupikir tak pantas kau menerima itu. Mungkin cara terbaik bagi kita adalah bersama-sama terdiam, masing-masing merelakan waktu tenggelam menjelma malam, menyembunyikan semua ingatan di balik senyum bintang-bintang dan tangisan rembulan, lalu dengan lirih kita panggil-panggil angin yang membawa musim semi dan merayunya agar ia sudi melahirkan kembali bung
Tak ada yang perlu disesali memang jika kau tak lagi berpuisi karena tak tahu secara persis apa yang sebenarnya terjadi bukan berarti kau harus jatuh, meranggas merelakan dedauan itu menguning satu persatu, menelanjangi keyakinanmu barangkali kau adalah mawar yang bisu dan harus terlihat cemas untuk sementara waktu tapi diam-diam kau terus mencari cara, bukan? Ssperti itulah dirimu yang harus kau ingat adalah menyadari agar senantiasa semerbakmu segar nan alami jadi mulai sekarang tak perlu bersusah payah mencari puisi lagi kau indah karena memang dirimulah mawar itu.
Kita tahu, ketika melihat sejarah, yang bercerita tentang pertumpahan darah, tak jarang agama dilibatkan dan dibawa-bawa. Dalam Film Viking misalnya, di sana kita melihat beberapa pertempuran yang seolah sama-sama mewakili agama, satu pihak "atas nama Odin", dan pihak lawan mengatakan "atas nama (tuhan) kristen". Padahal ada yang musti kita curigai, agama tak sepenuhnya menjadi motif tunggal dalam kejadian sejarah tersebut, unsur kepentingan dan kekuasann justru memiliki porsi yang lebih dominan. Begitu juga peristiwa teror yang terjadi--setidakny dalam dua dasawarsa terakhir-- akhir-akhir ini, juga kekerasan identitas yang sering menyatut label "Islam", padahal kita tahu Islam (sebagai ajaran) sendiri sejak kapan arif dengan kekerasan dan kemungkaran semacam itu? Barangkali demikian cara sejarah memberi kesimpulan: antara " agama" dan "yang beragama" musti diberi jarak-- dua hal yang kadang menyatu, tapi seringkali ia tak menyatu,
Komentar
Posting Komentar