Waktu

Imam Qusyairy mendefinisikan waktu sebagai berikut:

حادث متحقق علق عليه حصول حادث متوهم

Kurang lebihnya artinya seperti ini :

" Suatu hadis ( sesuatu yg baru) yang sudah pasti/nyata yang mana keberadaanya terikat pada suatu perkara yang masih berupa persepsi/belum nyata."

Praktiknya, semisal ada orang berkata اتيك رأس الشهر, "aku akan datang padamu awal bulan", maka kedatangan seseorang tersebut masih berupa persepsi (al hadits al mutawahham), sedangkan awal bulan itu sesuatu yang sudah pasti/nyata (al hadits al mutahaqqiq).

Setelah membaca ini, saya menjadi teringat apa yang dikatakan orang tua saya tahun di waktu lalu. Dalam salah satu moment yang entah saya sudah tidak ingat lagi, tiba-tiba beliau bilang begini ke saya: 

"Tasawwuf itu memang mendamaikan."

Saat itu saya bengong. Kurang paham, atau memang kurang fokus. Dan sekarang, setelah membaca keterangan Imam Qusyairi mengenai "waktu" ini, entah kenapa saya teringat perkataan tersebut. Bahwa waktu yang kita miliki adalah "al hadis al mutahaqqiq" ("ada" yang menjadi nyata) tersebab apa saja yang kita persepsikan, apa saja yang sebenarnya belum nyata.

Dalam banyak hal, seringkali kita mengaitkan diri kita yang "saat ini" dengan kejadian-kejadian "masa lalu". Hal ini sangat berdampak serius ketika apa yang kita sebut "masa lalu" yang pernah kita miliki tsmersebut lebih akrab dengan hal-hal yang cenderung kelam dan negative: seperti benci, dendam, kecewa, marah, putus asa dll. Ketika tidak ada pemotongan atas "tali hitam" yang memanjang dari masa lalu, maka hal tersebut mengakibatkan tidak adanya hal baru yang bisa mencerahkan dalam diri kita saat ini. Masa kini hanya sebatas pengulangan terhadap kebencian yang sama, dendam yang sama, kemarahan yang sama, kekecewaan yang sama dan bahkan keputus-asaan yang sama. 

Pada titik ini, akhirnya kita memerlukan definisi yang benar atas waktu. Karena manusia pada dasarnya sebatas "waktu yang berjalan".  Yakni "diri" yang kini masih berjalan dari masa lalu untuk menuju apa yang ia anggap benar dan bernilai di masa depan. 

Imam Qusyairi menjelaskan:

وقيل الفقير لا يهمه ماضي وقته و آتيه، بل يهمه وقته الذي هو فيه

"Seorang sufi tidaklah mementingkan masa lalu dan masa yang akan datang. Dia hanya mementingkan waktu yang ia hadapi sekarang."

Apa yang beliau jelaskan diatas, yang kita kenal sebagai representasi ahli tasawwuf terhadap waktu tersebut sangat pas dan relevan untuk kita terapkan saat ini. Terkhusus setelah hari raya idul fitri yang pada pada masa sebelumnya kita semua merasakan luka yang sama akibat polarisasi politik yang ada ( sudahlah tidak usah disebut lagi).

Tapi seorang sufi tidak pernah terjebak dengan romantisme masa lalu. Dalam pengajian Ihya, guru kami Syekh Muhanna sering mengulang-ulang maqolah ini:

الصوفي ابن وقته 

"Seorang sufi adalah anak sang waktu."

 Sebab itu seorang yang belajar tasawwuf, ia musti dituntut untuk menjadi pribadi yang selalu baru. Ajaran tasawwuf mengajak kita untuk terus berkreatifitas dengan melaksanakan apa yang harus dan penting untuk kita lakukan saat ini. Dengan pemahaman tersebut, waktu akan semakin bermakna dari pada sekedar mengingat luka atau mengundang mendung dari masa lalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?