Bunga Utopia

Nil tahun lalu


Bunga Utopia

Separuh malam yang setia merekam sajak-sajak abadi. Tentang kepedihan yang terlahir semenjak kesadaran memeluk

begitu erat beriring penggalan detik cepat. Setiap kesadaran
mengajarkan rasa sakit tak tertahan. Itu katanya, isyarat sejati dari hati

yang putih. Tapi aku sendiri tak begitu yakin benarkah yang kurasa ini adalah kesadaran. Setahuku semakin jauh aku berjalan

yang kutangkap sebatas kumpulan ingatan. Memancing kemarahan kepada diri sendiri. Akhir-akhir ini Rumi yang kukagumi

tak sesuci sajaknya yang dahulu. Masa-masa remaja yang khas dengan celana kecil, senyuman alami tak berkepentingan, dan tatapan polos. Saat mawar menciumi

dirinya sendiri, tak terjebak dalam duri. Nyatanya dalam hari-hariku, Tuhan
tak pernah marah. Ia hanya membiarkan saja diriku berjalan

panjang, mencari kesana kemari untuk menanyakan: masihkah
musim semi setia dengan bunga-bunga yang berguguran di taman?
Lalu kupetik beberapa tangkai untuk kubawa pulang. Tapi aku malah mencium aroma lain dari alamat lain, lebih harum dan sejati dari bunga

yang kupetik sendiri. Setibanya dirumah, aku pun terasadar: bunga itu telah layu. Dengan sangat dekat kulihat dia sendirian menemani para kumbang dan mawar bermesraan di taman.
2019



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?