Catatan

Mendengarkan Kebenaran


           Pengakuan sebagai hamba berarti kesadaran secara total akan ketiadaan kuasa  (amal) dan pengetahuan (ilmu) seorang diri melainkan  dari pertolonganNya ( taufiq)   serta ajaran dan sang pemilik kebenaran atau al haq itu sendiri.  Imam Qusyairi dalam lathaif isyarohnya memberikan pemahaman yang cukup menalam mengenai hal ini. dalam menafsiri ayat     الذين يؤمنون بالغيب  , beliau berkata : " hakikat sebuah keimanan adalah dengan membenarkan terlebih dahulu (at tashiq), lalu benar-benar membuktikannya secara hakiki ( at tahqiq). Dan yang menghadirkan keduanya itu tadi adalah pertolonganNya. Adapun pembenaran itu bisa ditempuh melalui lantaran akal, sedangkan pembuktian itu bisa digapai dengan berusaha sekuat tenaga dalam memenuhi janji kita kepada Alloh SWt sebagai seorang hamba serta menjaga diri dari batas (had) yang telah ditentukan. Oleh karena itu maka yang isebut sebagai seorang mukmin adalah mereka yang membenarkan ajaran Tuhannya serta benar-benar membuktikannya dengan segala upayanya.” 

Lalu apalah arti sebuah pembenaran andai tanpa penerimaan. Seseorang yang membenarkan islam berarti menerima segala ajaran yang dibawa oleh Nabi agung Muhammad SAW sebagaiman yang tertuang dalam kitab suci yang diwahyukan kepada beliau, serta segala tindak lampah beliau yang mencerminkan al Quran itu sendiri. Tetapi sekarang timbul pertanyaan, ketika kaum muslimin sama-sama menerima kebenaran itu, tapi kenapa dalam kenyataannya tidak selalu sama kadar kepahaman yang diperoleh atas ajaran tersebut? 

Disinilah kejernihan hati menjalankan peranan pentingnya sebagai penakar sekaligus penentu sebatas mana kita mendapatkan cahaya-cahaya pengetahuan yang ada dalam l al Quran dan sunnah. Kejernihan inilah yang membuat para sufi mempunyai sebuah kekhususan atau keistimewaan dintara hamba-hambaNya yang lain. Keistimewaan tersebut ialah bisa memahami kandungan ayat-ayat al-Quran dengan baik atau disebut dengan husnul istima’.  Itulah yang menjadi asas dari segala kebaikan. Orang yang hatinya dipenuhi dengan was-was dan batinnya dikuasai oleh hawa nafsu, maka ia tidak akan mampu khusunul istima’: tidak mampu mendengar dan merenungi al-Qran dengan baik. 

Para sufi alias ahlul qurbi ketika mengetahui bahwa al-Quran adalah surat-surat yang dikirimkan Alloh SWT kepada hambanya, yang seolah-olah mengajak dialog secara langung denganNya, maka mereka meyakini bahwa setiap ayat dalam kitab suci tersebut bagaikan lautan ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya kumpulan hikmah dan kebenaran, baik dari yang dzahir sampai yang batin, yang terang maupun yang samar, atau seperti melihat pintu-pintu surga yang terbukakan yang menuntut kita semua untuk bersegera mengamalkan ilmu-ilmu yang ada di dalamnya. 


Darbul Ahmar 21 November 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Memoir Februari- Mei

Hapuslah Kesedihanmu

Apakah Agama itu Sederhana?